Lihat ke Halaman Asli

Mini Cerpen (42) Cinta yang Bak Pelabuhan

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hera dan Basuki semula hidup bersama --- samen leven, alias kumpul kebo. Kok bisa ? Enggak tahu juga ya.Nyatanya mereka menjalani kehidupannya demikian. Seperti dua orang yang bersahabat saja --- kebetulan saja yang satu perempuan dan satunya lagi lelaki --- karena berlainan jenis itulah bagi yang kenal, kehidupan mereka menjadi perbincangan.Mereka cuek saja.

 

Tahun 2000 sepulang pesta tahun baru di Kuala Lumpur --- sambil menyaksikan pancaran warna-warni kembang api --- Hera dan Basuki memang saling berpelukan erat --- tanggal 31 Desember 1999 itu Kuala Lumpur diguyur hujan sejak menjelang Magrib. Di lapangan parkir tiba-tiba saja mereka berhadapan dalam pelukan yang sangat erat. Berciuman dalam arus dinginnya semilir angin tanggal 1 Januari 2000.

 

Ciuman yang bertubi-tubi itu dimulai saat dipenghujung count-down. Entah suasana hati yang bagaimana tidak ada yang mengetahuinya…..

“Her, aku lamar kamu --- mari kita menikah setibanya di Jakarta” Herawati tidak bersuara menjawab --- ia hanya menyurukkan wajahnya ke dada Basuki yang dibalut Sweater berwarna pelangi garis-garis. Wajahnya diangkat Basuki.

“Her kita akan menikah segera “

 

Memang sudah lama tatacara pernikahan mereka pelajari --- karena calon pengantin wanita HerawatiHadijiddin ………….merasa tidak pasti siapa sebenarnya ayah yang akan menjadi walinya.Nama Hadijiddin itu belakangan didapatnya dalam suatu menelusuran yang luar biasa melelahkan. Hera menghubungi secara berantai berpuluh orang di berbagai kota. Nasib malang anak terbuang.

 

Tahun 2000 ini ia akan berumur 33 tahun --- memang pantas ia menikah. Ketika ia berumur 18 tahun, setammat SMA ia memang ingin menelusuri kembali asal usul nama Hadijiddin itu --- ijazah Ibtidaiah pertama sekali mencantumkan nama itu. Menurut Ustadz AbdulKarim, itu nama wali atau nama ayah Herawati --- begitulah seingat ustadz sebagaimana Ibu Hajjah Assunnah yang membawa orok itu dari Panti Bersalin Arrahmah di Parung. Tidak ada dokumen apa pun.

 

Ada pula kisah yang memilukan disangkut pautkan pada kehidupannya --- ibunya adalah seorang aktifis mahasiswa CGMI --- yang ditahan di Gaok, jalan Mataram.

Konon selama masa interniran itu ia menjadi bulan-bulanan para interogatornya. Ketika kehamilan-nya pada bulan-bulan pertama ia dipindahkan ke Jakarta untuk menjadi saksi bagi seorang militer yang akan di mahmilubkan.Ia sempat melahirkan bayinya --- dan dititipkan pada seorang perempuan tukang masak di Rumah Tahanan Militer. Setelah itu tidak terbetik berita apakah ia masih hidup atau pun mati.

Tidak pasti apakah mahasiswi itu terangkut ke Pulau Buru bersama para tapol wanitadari Gerwani, atau bagaimana nasibnya. Dan tidak juga pasti sampai di mana peranannya sebagai saksi itu.

 

Hadijiddin itu adalah lelaki yang selalu menyambangi bayi itu selama dalam penitipan di Panti Bersalin Arrahmah  --- siapa sebenarnya Hadijiddin tidak pula bisa dipastikan. Setelah Hadijiddin tidak pernah berkunjung ke panti --- Pengurus panti menyerahkan Herawati kepada Panti Yatim Piatu “Al-Yatama”, kemudian Herawati ditempatkan di panti puteri di Sukabumi. Nama itu terus menerus terbawa ke ijazah Ibtida’iah, Tsanawiyah, kemudian ke ijazah SMA.

 

Setammat SMA, ia pernah di tahun 1985 --- mengusut nama ibunya, konon Praptiningsih, di beberapa instansi militer untuk memastikan apakah ibunya masih hidup, dan di mana , apakah di pulau Buru atau di mana ? Tidak bisa terlacak --- di Semarang ia bisa bertemu dengan seorang bapak-bapak, di tahun 1985 itu. Bahwa benar dalam tahanan Gaok dulu memang ada mahasiswi CGMI yang ditahan --- ditahanan ia adalah aktifis kesenian --- tetapi ia tidak lama di Gaok, konon dipindahkan ke Solo.

 

Dari Perguruan Tinggi diperoleh keterangan bahwa nama Praptiningsih --- DO karena telibat G.30.S/PKI --- administrasi yang tersisa bahwa orang tuanya berasal dari Pasar Nongko Solo --- tetapi dari alamat itu tidak ada yangbisa meng-konfirmasi nama Praptiningsih.

 

Ia beralih ke nama Hadijiddin --- tokoh ini juga sangat mencekam jiwanya --- belum tentu ayahnya tetapi, kisahnya sangat pilu kalau dikaitkan dengan kehidupannya. Tokoh Hadijiddin adalah Kopral TNI, yang bertugas di rumah tahanan militer ---kemudian terlibat sebagai anggota TNI desersi dan tertembak mati dalam operasi menumpas anasir G30S/PKI di Rubah-rubah *) di selatan Jawa. Jadi Hadijiddin telah tewas. Apakah ia mempunyai tautan darah --- intuisi dan nurani Herawati menolaknya. Nama itu ia abadikan saja untuk ijazahnya. Pahit.

 

Nasib baik membawa Herawati sampai bisa menamatkan kuliahnya di perguruan tinggi --- ada seorang Notaris wanita yang tidakpernah menikah dan menganggapnya anak, membiayai kuliahnya di Fakultas Hukum UI. Setammat dari fakultas hukum ia bekerja di salah satu Kantor Pengacara di Jakarta.

 

Naluri perempuannya mendorongnya mencari pasangan, tetapi nuraninya tidak ikhlas untuk menikah dengan hubungan darah yang tidak jelas itu. Ia sangat menyesali jalan hidup yang dikait-kaitkan dengan nama-nama yang belum tentu adalah asal darah dagingnya ---- bahkan terkadang ia lebih memilih bahwa ia sebenarnya bayi yang dibuang karena hasil hubungan gelap --- dan tidak bisa diselesaikan dengan perkawinan.

 

“Kita menikah dengan wali hakim saja Her --- surat-surat bisa kita urus --- mengenai nama Hadijiddin, katakan saja ayahanda itu telah almarhum”.

 

Siapa Basuki ? Ia adalah seorang lelaki yang ulet --- ia berasal dari Bagan Siapi-api, jalan nasibnya pun mirip dengan Herawati --- ia juga tidak mau menelusuri lagi silsilahnya di daerah asalnya itu --- Bapaknya membantai mereka sekeluarga --- hanya ia yang selamat, karena konon ia menumpang tidur di tetangganya --- karena rumah mereka sempit. Mereka adalah keluarga nelayan miskin yang tinggal di bedengan sepanjang pantai di Bagan Siapi-api, di tepi pantai yang berlumpur yang penuh aroma belacan sepanjang hari.

 

Dari pekerja panglong kayu di Pasirpangarayan --- dalam masa 30 tahun ia tampil jadi pengusaha yang penuh swadaya --- sekolah dia tidak punya, tetapi naluri bisnisnya , membawanya menjadi pengusaha yang mengendalikan perusahaannya --- di Riau, di Kalimantan Barat, di Sarawak maupun kini --- ia merambah Papua. Dia hanya tahu kira-kira ia keturunan Cina, tetapi itu tidak penting baginya --- sejak ia dididik bekerjaoleh Pak Burhanudddin Jussuf --- ia hanya tahu itulah orang tuanya. Ia tidak mempunyai ijazah apapun --- ia tidak mementingkan ijazah. Bisa baca tulis sudah syukur istilah dia.

 

Ketika ia harus mengurus KTP di umurnya yang 17 tahun --- ia lengkapi semua isian sesuai dengan informasi yang dipunyai saja --- khusus nama orang tua, dengan ijin Pak Haji Burhanuddin Jussuf, ia mencantumkan nama beliau dan ibu Hajjah Nursalawati.

“Ia selalu tertawa menjelaskan 'Saya anak beliau', tetapi bukan bin beliau “ katanya selalu.

 

“Kita akan menikah dengan WaliHakim --- nanti bawa pegawai Hera sebagai saksi, saya akan membawa pegawai saksi pihak saya --- tidak usah pesta-pesta kita selenggarakan saja kumpul-kumpul di restoran sea foof, beres. “

 

“Bang kita tetap seperti dulu --- Cinta kita seperti pelabuhan saja, di mana kerinduan berkawan, berkeluarga kita tautkan ---Saling kasih dan sayang, saling menghargai, saling membutuhkan --- tambatkanlah kapal abang kapan abang datang --- saya pun demikian, kita tidak bisa terlalu berharap pada yang tidak bisa kita capai --- kita sudah biasa bersyukur menghadapi hidup kita yang tidak pernah merasakan belaian kasih orang yang melahirkan kita --- jangan pula abang pernah menyesali bahwa konon dokter mengatakan saya tidak mungkin bisa dihamili “

 

“Jangan menyesal ya bang ya ?”

“Cinta kita bak pelabuhan --- telah teruji bertahun-tahun, selalu menanti dan pergi untuk kembali ke pelabuhan --- kita tidak mungkin mempunyai anak kandung, tetapi ribuan anak yang membutuhkan kasih sayang kita --- kita akan membangun Abaul’ Aitam --- “Orang tua bagi para anak Yatim “, anak-anak yatim agar menjadi manusia yang tahu berterima kasih dan menebarkan kasih dan sayang mereka di kemudian hari “.

 

Dari lantai tujuh apartemen di jalan Senopati itu mereka memandang lepas ke arah jendela selatan --- hanya lampu-lampu, tidak bisa dipastikan dari gedung apa itu --- begitu pula nasib silsilah mereka tidak diperlukan lagi penegasan apa pun. Mereka berdualah yang akan membangun kasih dan cinta --- buat anak-anak yatim yang mungkin juga tidak jelas silsilahnya, tetapi perlu dibela (=dipelihara dirawat; e dibaca pepet --- bukan ekor). Misi mereka adalah mengasihi anak yatim dan mendidik mereka --- mereka juga berhak mempunyai hari depan untuk memulai Silsilah-nya lagi.

              *) Rubah = Ruang Bawah Tanah

          




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline