Lihat ke Halaman Asli

Planet Kemiskinan (15) Rumah tua

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mang Karwoto telah berumur 82 tahun --- ia masih berdagang asinan-manisan di terminal Harjamukti.  Orang mudah mengenali mang Karwoto bukan saja memang ia telah tua renta dan berumur panjang ---tetapi ia melewati route yang sama ber tahun-tahun.  Wajarlah banyak orang mengenali dan menandainya, bahkan dari jarak yang jauh.  Dulu dia bertahun-tahun pergi pulang berspeda --- kini jalan tertatih-tatih sambil mendorong kereta angkutannya.. Biasa ia menyelempangkan tas buruknya menyilang. Badannya kurus dengan kacamata yang tebal.

 

Di kompleks itu rumah sudah berganti pemilik atau sudah direnovasi  lebih baru --- Cuma rumah mang Karwoto yang doyong dan sesuai dengan pemiliknya.  Di depan rumah itu ada pohon mangga cengkir sebatang --- setiap panen diborongkannya kepada pengumpul.  Uniknya pengumpul itu adalah langganannya yang sudah lebih sepuluh tahun. Rumah itu sudah entah berapa puluh tahun tidak pernah di cat.  Atapnya pun telah diselang seling dengan lembaran seng atau lembaran plastik. Sudah berkali-kali tetangga kiri-kanan dan belakang ingin membeli rumah itu.  Mang Karwoto tidak mau menjualnya.  Dia dan juga para tetangga itu sama-sama sebel --- karena yang satu ingin memperlega rumahnya, sebaliknya mang Karwoto tetap saja bertahan tidak mau menjual rumahnya.

 

            Anak-anaknya yang tiga --- Ripin di Purwakarta, bekerja di pabrik velg, sudah beranak dua --- tinggal di rumah sewa bulanan.   Arun kerja di pabrik bearing di Cikampek anaknya juga dua, dengan istrinya tinggal di rumah sewa bulanan juga --- si bungsu, juga telah mandiri bekerja entah di pabrik apa di Tambun.  Anak-anak ini, telah tidak pernah mau mengunjungi bapaknya lagi --- karena bapaknya tidak mau menjual rumah itu. Mereka  konflik dengan  bapak mereka.  Kasihan

 

Memang sejak isterinya mak Onah meninggal enam tahun lalu --- tetangganya menganggap mang Karwoto aneh.  Di dalam sepi hidupnya, masih berjuang untuk hidup.  Kalau malam lebih menyedihkan lagi, hidup dalam gelap.  Gelap.

 

Entah telah berapa tahun rumah itu tidak mempunyai listrik --- PLN memutus aliran, karena mang Karwoto menunggak entah berapa bulan. Rumahnya gelap tak mempunyai penerangan --- ia menggunakan satu lampu sentir   seperti jaman Jepang (ia tidak tahu sebagian besar rakyat Indonesia juga tidak mendapat pelayanan listrik). Tetangga depan sungguh sombong --- selalu menggerutu bahwa rumah mang Karwoto merusak pemandangan rumahnya. Namanya juga OKB – pekerja cleaning service tetapi jadi pengelola pajak Rakyat. Duitnya banyak.

 

Suasana luar rumah itu terang karena mendapat bias lampu penerangan para tetangganya.  Tetapi tetap saja membuat tidak tentram para tetangganya. Rumah jelek itu, seperti rumah hantu --- memang anak-anak tanggung di kompleks itu menyebut rumah mang Karwoto, rumah hantu.  Mereka sebenarnya selalu seram menunggu saat --- tiba-tiba mang Karwoto mati sendirian.

 

Mang Karwoto pagi-pagi, sekitar jam delapan, keluar rumah sambil mendorong kereta dagangannya.  Ia selalu memberi hormat bila berjumpa tetangganya --- dibalas sungguh-sungguh atau sekenanya saja --- ia tidak memperdulikan.  Tetap mendorong keretanya.

 

Petang ia pulang, begitu juga, ia tetap memberi salam pada siapa saja yang dianggapnya tetangganya --- karena sebenarnya ia tidak menandai siapapun di situ. Pintu pagar bambu dibuka , kereta dorong disimpan di samping rumah. Memang pagar rumah kiri kanan dan belakang kini berbatasan dengan pagar bata tetangga.  Dulu di belakang rumah ada bangunan dapur --- kini telah runtuh. Ambruk.

 

Rumah itu kalau hujan penuh dengan bocoran --- tidak bisa ditampung lagi.  Mang Karwoto hanya mengamankan tempat tidurnya , jangan kena bocoran.  Ada lembaran plastik dibentangkan di atasnya.  Gelap hujan, becek --- tidak dihiraukannya.  Mungkin orang itu sudah sakit jiwa barangkali.

 

            Yang penting, kalau tidak ada pembeli ia memulai mengupasi mangga muda atau kedondong, cerme, atau juga ia membuat manisan rosella. Di rumah manisan atau asinan itu diwadahi menunggu matang.

Terkadang pepaya mengkal atau buah wuni --- pokoknya sepanjang hari terang, ia bekerja.  Di rumahnya sudah ada manisan atau asinan yang bergilir siap jual.  Yang mengherankan ia tidak pernah mengalami sakit tergeletak. Tiap bulan ia mengambil uang pensiun di kantor pos --- ia merasa bahagia saat begitu. Karena uang yang tidak seberapa itu --- dianggapnya penghargaan dalam hidupnya.

 

            Rumahnya tidak mempunyai teras --- persis bentuk rumah yang diterimanya dari Perumnas  35 tahun yang lalu.  Kini karena ada terang bulan, ia bisa duduk di depan pintu rumahnya.  Memang kebetulan  bulan purnama itu bersinar tepat di bidang pintu depannya. dulu waktu isterinya masih hidup, listrik masih menyala --- duduk di depan pintu itu acara yang menyenangkan. Ia sudah pensiun 27 tahun. Hebat.

 

Dua anaknya tamat STM, hanya yang bungsu  kalau enggak salah hanya sampai SMP saja.

Begitu dia pensiun sisa hutang KPR ia lunasi.  Kemudian hidup mereka menyesuaikan dengan rejekinya berdagang manisan saja. Memang setelah pensiun ia hanya berdagang manisan, dulu pernah juga diselingi jual es campur.

 

            Di remang malam itu ia mengenang masa isterinya masih hidup --- jaman ia masih bekerja, hidup sederhana dan mencukup-cukupkan rejeki yang halal saja .  Ia masih ingat dengan atasan Tuan Van Der Moellen – yang membimbingnya, mengajarkannya bekerja ---  bekerja harus jujur dan rajin.  Harus bertanggungjawab.  Di perusahaan perminyakan itu ia mulai bekerja di Kantoor Behooften --- tidak pernah selembar kertas dicurinya, tidak sebatang potlot pernah hilang --- bahkan tidak satu item barang pernah terjadi verschijl.  Ia takut Belanda akan memecatnya. Ia bersyukur Tuan Belanda tiap tahun memberi penghargaan satu kardus macam-macam barang --- itu setelah ia beristeri dan mempunyai anak.

 

            Tahun 1961 Bos Indonesia masuk, menguasai perusahaan pertambangan minyak itu --- ia dipindah di Personalia.  Urusan administrasi perwismaan.  Ia selalu berselisih dengan atasan yang berasal dari Unit pindahan --- ia diajari  bekerja dengan administrasi yang mengarah perbuatan penipuan.  Jumlah beras, susu, gula, teh, sayur mayur dan macam-macam belanjaan harus difiat tidak sebenarnya --- baik jumlah dan jenisnya.  Ternyata ia tidak cocok bekerja di situ --- dia dimutasi ke STS (Small Tool Store).  Di bagian ini dipelajarinya, kalau dari arsip lama orang yang meminjam alat-alat kerja kecil selalu mengembalikan setelah selesai proyeknya atau werk order --- tetapi belakangan ini, itu Staf yang meminjam tidak memulangkan tepat waktu --- bahkan banyak digunakan di rumah untuk urusan pribadi.

Yang mengerikan ia disuruh tandatangan oleh Staf --- sedang barang yang dibeli langsung ke tempat kerja --- administrasi disuruh sesuaikan.  Ia selalu rewel minta melihat  barangnya dulu.

Barang belum tentu kembali ke STS.  Oh, ada lagi ia harus membuat laporan alat hilang  untuk diusul hapus. Wah – mang Karwoto ngeri sekali.

 

            Mang Karwoto lama-lama merasa asing sekali bekerja di jaman belakangan ini --- lain benar bos Orang Indonesia dengan jaman Belanda dulu --- sekarang anak buah diajari untuk berbuat serong.  Memang ia mendengar para staf dan bos sekarang bekerja  dengan cara lain --- konon namanya  komisi dan tanda terima kasih. Ia tidak perduli --- kalau si Pedagang atau leveransir  yang datang mengajaknya “menipu”, mang Karwoto selalu menolak --- tetapi kalau atasan yang memerintahkan langsung, ia terpaksa.  Diam-diam ia membuat catatan --- kalau-kalau dia diusut auditor --- tetapi belakangan auditor juga kerjanya serampangan, tidak ada wibawa seperti jaman Belanda.

 

Tahun-tahun menjelang pensiun ia dikurung di KBH kembali (sekarang namanya RTK, Rumah Tangga Kantor)  Bekerja seperti tikus di pojok bangunan, ia hanya mengurus item-item yang tidak bergerak --- konon prosedur sekarang dirobah --- semua kebutuhan kantor yang fast moving dan terus menerus  --- langsung ke pemakai.  Wah, tidak perlu diadministrasi seperti jaman Belanda. Anggaran sudah disetujui dan pemakaiannya telah terdata terus-menerus.

“Cuma apa benar ?” pikir mang Karwoto.

 

            Ia merasa puas hidup dengan apa adanya. Ia ingin mati dalam mensyukuri apa yang halal dihasilkan oleh haknya ---Ia ingin mati di tempat tidur di mana istrinya meninggal dunia, ia ingin berpulang dari rumah yang dihasilkan oleh kerja jujur dan setia.  Langit mendung, seperti akan hujan.  Ia hanya mengkuatirkan bocor akan membasahi kasurnya --- membuat sendi-sendi mengilu.  Dia menutup pintu depan yang tripleksnya telah mengelupas --- ia ingin cepat tidur, karena setidaknya ia tiap pagi ingin turut sholat subuh.. Di luar angin menderu --- angin memukul-mukul dari ventilasi. Suaranya mengeretak dan berderak.  Mang Karwoto takut bocor (ia tidak tahu kalau ada perubahan iklim --- kini angin puting beliung sering menerjang Indonesia.  Di Cianjur, di Subang, di Goa, kembali lagi ke Jakarta Selatan, balik ke Purwakarta,  rumah hancur di Jambi di Aceh, wah, dimana-mana. Ia tidak tahu).

 

            Hujan lebat mengalirkan air ke mana-mana , dari talang ke got, ke kali, ke-mana-mana seperti akan banjir --- rumah mang Karwoto bocor yang menyebabkan becek dan banjir di lantai --- badannya tidak mempedulikan keadaan begitu.  Yang penting jangan bocor di atas tempat tidur bisa tembus ke tempat di mana ia tidur.  Ia ingat kalau suasana begini semasa isterinya masih hidup ---- orang tua itu sibuk menadah bocoran di berbagai tempat. Ia ingat ketiga anaknya --- ia tidak mau mengikut anak-anaknya --- rumahnya sempit, tidak ada tempat ia meluruskan kakinya yang pegel dan semutan.  “Alhamdullillah --- aku masih mempunyai rumah milik sendiri “, pikirnya.

 

            Ingatan mang Karwoto memang masih baik --- enggak mengerti apa karena tiap saat ia bergerak dan berjuang untuk hidup. Lampu sentirnya padam entah karena angin atau ditetesi bocoran.

 

            Jemaah Sholat Subuh kehilangan anggota jemaahnya --- mang Karwoto tidak terlihat. Di sekitar rumah mang Karwoto, pak RT dan para tetangga menyorotkan senter dan lampu darurat.  Ramai orang pada saling memanggil untuk membawa parang, golok dan gergaji.

Rumah tua itu yang menantikan kerobohannya --- malam tadi menjelang subuh telah diremukkan angin puting beliung.  Penghuni  tunggalnya tidak menyahut di panggil-panggil.  Suara orang memotong dahan dan ranting meriah.  Suara gergaji juga ada.

            “Cari Chainsaw, chainsaw  !”

            “Pergi susul tukang tebang kayu di Suket Duwur --- bawa Chainsaw.”

Banyak orang merubung ingin tahu, rumah buruk itu didobrak pak RT dan pak RW dibantu si Suadi, muadzin mesjid --- rumah reyot itu mudah sekali mendobrak pintu belakangnya --- senter menerangi kamar depan hancur,  batang pohon mangga Cengkir sebesar batang kelapa menghimpit tubuh mang Karwoto,  ia terjepit diantara batang pohon dan lantai rumahnya.  Darah berlinang di air bocoran dan becekan --- ada semburat merah darah mengalir di sana.  InnallillahiWa innalilaihi Rajiun.

 

            “Ini fardhu kipayah,  mang Karwoto harus diselenggarakan sebaik mungkin, coba cari alamat anak-anaknya”  Banyak tetangga terharu dan bersimpati terhadap sikap dan perjuangan hidup orang tua ini.  Orang tidak mengerti kalau ia ingin mati di rumah dimana isterinya meninggal dunia.  Dan rumah itu halal, karena dari hasil memeras keringat dengan jujur. Alhamdullillah ya Rabil ‘Alamin.  Amin.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline