Lihat ke Halaman Asli

Mini Cerpen (32) Penyakit Menahun yang Menyemi Cinta

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Partini memang senantiasa diajarkan bersyukur --- betapa pun pahitnya mengidap penyakit yang konon tak terobati.  Hanya doa yang mengobati dan menghibur hatinya yang selalu gundah.  Malam ini sekembali dari bekerja ---ia ke depan cermin yang selalu menjadi alat mengdiagnosis penyakitnya.  Cermin jati yang berukir indah --- ragam hias Perancis Abad XIII --- ia sangat bahagia bisa memiliki cermin yang berbentuk "tracery" --- salah satu ragam arsitektur Gothic --- cermin itu berbentuk jendela yang sangat indah.

Ia merebahkan dirinya, sambil menyeka wajah dan lehernya.  Cermin itu selalu dianggapnya piala prestasinya yang paling top, dalam hidupnya --- cermin itu indah sekali, dan............. Bisa memberikan diagnosis.  Bahwa penyakitnya menjelang.  Ia paham betul bagaimana kondisi perasaan tubuhnya, dan ia selalu yakin betul, penyakit itu menjelangnya.  Bibirnya bergetar dan matanya dengan pupil melebar.  Lap yang suam-suam kuku menentramkan syarafnya --- ia masih sadar, ia masih ingat detail ukiran cermin itu. Ia pejamkan matanya --- agar pupil mata itu tertutup., bersamaan dengan kelopak matanya yang tertutup.

Pagi ia terbangun --- ia meyakinkan dirinya, bahwa serangan penyakitnya tadi malam berlalu bersama dengan status tidurnya yang mencapai REM ---   Pantulan di cermin meyakinkannya. Ia kembali normal.  Ia ke dapur untuk menyedu minuman alternatif yang juga diyakininya selalu memulihkan kesehatannya.  Air jahe dengan campuran setengah sendok tepung kencur. Air wuduk menyejukkan syarafnya --- ia mengadahkan tangan berdoa dan bersyukur.  Ia kembali normal.

Lebih sepuluh tahun sudah ia bersikap mandiri menghadapi serangan kambuh penyakit itu --- menurut dokter belum ditemukan obat yang menyembuhkan --- yang ada hanya obat yang meredakan gejala serangan.  Belakangan dengan sikap dokter yang terkadang menjedakan pengobatan kimiawi itu --- mengajarkan Partini untuk menggunakan obat alternatif. Terutama yang berasal dari herbal --- dedaunan dan rimpang tumbuhan. Penyakit itu telah mengajarkan dirinya, cara bagaimana menyadari hidup bersama penyakit itu.  Bahkan ia berkesimpulan yang dialaminya sebenarnya hanya gangguan kesehatan.  Ia hanya terganggu !

Dia mengambil sikap mandiri --- sejak ia selalu menemukan ayahnya berdoa sambil menangis, juga ia mendapati ayahnya dalam keadaan menangis setiap kali setelah ia sadar dari serangan kambuhan.  Sejak umurnya 25 tahun ia bertekad mandiri --- mengelola penyakitnya. Ia tidak mau membuat panik ayahnya ---- walau pun ia menyadari ada satu masalah lain lagi yang pasti merisaukan hati ayahnya, ayahnya pasti gundah.  Ia menjadi perawan tua --- karena penyakit dan memang,  ia harus bersikap menarik diri, dari pergaulan --- tubuhnya wajar membuat ia rendah diri.  Ia sangat kuatir lelaki tidak akan ikhlas menerima tubuhnya.

Partini adalah Sarjana Psikologi --- ia bekerja di perusahaan penerbitan buku-buku dan majalah keluarga.  Dari segi pendidikan dan kecintaan keluarga, ia memang harus bersyukur --- lebih-lebih setelah ia bisa menerima kenyataan tentang penyakitnya --- ia ikhlas menerima dan merasa nyaman dengan cara ia mengelola gangguan kesehatan yang dialaminya sepanjang hidup.  Kini ia berumur 36 tahun.  Ibunya telah meninggal ketika ia berumur 11 tahun --- ayahnya Haji Ali Imran tidak menikah lagi --- ia dengan setia mengurus puterinya yang sakit, sering kambuh dan belum ada obat penyembuhannya. Partini anak ke lima di antara enam bersaudaranya.  Ia berbahagia kini bila dikerumuni anak keponakannya.  Mereka memanggilnya Bude Tin.

Lama ia menyembunyikan sosok tubuhnya yang rusak --- ia rada minder.  Setiap kali dokter akan meletakkan  stetoskop di dadanya --- ia selalu meraih benda itu, untuk meletakkan sendiri di dadanya.  Tetapi sikap itu tidak bisa dilakukannya ---- saat ia mengalami penyakit apendiks akut. Ia dibius total, ia yakin dokter dan para medis bisa menyaksikan dirinya yang telanjang, untuk tindakan medis itu, bahkan rambut pubiknya pun dicukur habis --- tetapi ia telah melupakan itu. Bagaimana lagi.

Penyakit menahun yang menyertainya selalu itu --- mirip epilepsi.  Ia bisa tiba-tiba lemah terkulai.  Tetapi ia kini mengenali prodrome --- semacam gejala dini, yang sudah sangat disadari mengawali serangan penyakit itu. Sehingga kini ia menganggap penyakit itu hanya gangguan kesehatan.  Ada sesuatu dalam tubuhnya yang cacat, yang sewaktu-waktu error.

Jadi penyakit atau gangguan itu salah satu hambatan,  tersisih dari keberanian mencari pasangan --- tetapi yang lebih mengkungkungnya sebetulnya cacat yang terjadi pada tubuhnya --- ia kuatir sekali lelaki akan kecewa dengan tubuhnya.  Dari segi kejiwaan ia wanita normal --- ia membutuhkan lelaki untuk memuaskan kerinduan tubuhnya --- terutama apabila libidonya meningkat.  Ia menyadari bahwa ia wanita normal --- membutuhkan lekaki.  Tetapi kekurangan yang dialaminya itu yang selalu menghambat keberaniannya untuk memulai percintaan.

Pagi ini dokter Hartoyo menelponnya lagi --- mengajaknya dating.  Sebenarnya Sang Dokter  mengajaknya kemarin siang, selepas jam makn siang.  " Dik Tini, saya ingin mengajak makan malam --- kemana dan hidangan apa adinda yang menentukan " , indah kata-kata dokter itu.  Memang ia lelaki lembut dan sabar.  Dialah dokter yang membedah usus buntu Partini lima bulan yang lalu.  Dokter itu sudah cukup matang --- ia berumur sekitar 40 tahunan. Setelah pembedahan itu, kebetulan mereka bertemu dalam satu seminar oleh seorang ahli NLP.  Topik yang kebetulan digemari oleh kedua manusia itu. Sejak dari seminar itu mereka telah sering bertemu dalam artian tukar menukar buku referensi --- sampai makan siang dan saling tukar hadiah buku..

Partini telah paham arti sinyal-sinyal yang dikirim oleh Sang Dokter --- ada ketertarikan  Sang Dokter kepadanya.  Tidak ada kekurangan dokter itu untuk dijadikan calon suami.  Sebagai dokter bedah tentu ia termasuk lelaki yang berpenghasilan mantap. Umurnya yang telah empat puluh sudah matching-lah, dengan usianya yang 36 tahun. Perawan tua.

"ya kau perawan tua " kata hatinya.  "Apa lagi pertimbangan-mu?" kata hatinya lagi..  "Semua rahasia tubuhmu niscaya telah diketahuinya, ia seorang dokter."   Tambah kata hatinya.

"Engkau tidak perlu gentar ia akan menolak tubuhmu --- ia seorang dokter. Ia telah melihat tubuh bugilmu"

"Bahkan sewaktu  di kamar periksa --- setelah mengukur tekanan darah, ia langsung mencilakkan  blazer dan melorotkan  blousemu ---ia meraih tanganmu, ia sendiri yang meletakkan stetoskop di dada agak ke bawah.  Waktu itu engkau agak menganggapnya kurang ajar, karena menepiskan tanganmu yang akan memegang sendiri stetoskop itu" - ‘kan kamu ingat ia hanya tersenyum, menganggap kamu gadis ABG yang takut dokter melihat payudaranya."

"Ingatkah kamu cara ia mencium punggung tanganmu ?"

"Ya, ia adalah lelaki yang pertama sekali mendebarkan hatimu --- kamu jangan mungkir, bahkan kini dokter itu menjadi idola impianmu dalam imajinasimu.  Betulkan ?"   Partini selalu membayangkan dokter itu yang mencumbui dan melakukan adegan seks dengannya.  Sayang kemarin ia telah merasakan  ada  prodrome yang menandakan akan ada serangan gangguan itu. Maka ajakan makan malam dihindarinya.

"Ia adalah  calon yang tepat --- ia seorang dokter, ia akan menolongmu mengelola penyakit menahun ini"  begitu kata hatinya.

"Partini --- kamu perawan tua,  ayahmu menginginkan kamu segera menikah"

"Dialah calon terbaik, dan yang bisa kau raih --- kalau ia kecewa dengan tubuhmu, dan menceraikan dirimu --- tidak apa, ayahmu lebih bahagia menjelang mautnya. Anak kesayangannya --- adalah janda, dibanding, engkau tetap sebagai perawan tua"

"Ayahmu akan sangat berbahagia --- semua anaknya ia saksikan menjelang pernikahan.  Ia akan bangga menjadi Wali Nikah-mu Partini.  Ia akan menghadapi malaikal maut dengan ikhlas --- tidak ada meninggalkan anak dalam keadaan perawan tua."

Haji Ali Imran sedang duduk  selonjoran di beranda sedang membaca koran, sewaktu Partini menemuinya.  "Ayah Tini akan pergi keluar sebentar, dengan teman --- Tini telah menelpon  Ryana, mereka akan datang  menemani ayah. ".

Inilah kali pertama Haji Ali menyaksikan anak gadisnya pergi dengan lelaki berdua --- anaknya telah dewasa, sudah pantas mempunyai suami --- bertahun-tahun ia dengan setia berdoa kepada Allah --- agar anaknya mendapatkan jodoh, sebelum ia meninggal.  Semula ia agak terperanjat melihat lelaki yang datang itu adalah dokter yang membedah usus buntu anaknya.  Dokter Hartoyo.  Ia seorang lelaki yang tampil mempesona, berkaca mata dan perawakannya tegap.  Ramah dan tampan, telah ada tebaran rona putih di rambutnya.

Begitu kedua sejoli itu memasuki mobil , Haji Ali langsung bergumam berdoa.  Ia meneteskan air mata, ia ingin sekali mati dengan tanpa beban ---  meninggalkan anak perawan yang belum dinikahkan.

Dokter Hartoyo adalah seorang duda yang menceraikan isterinya, karena berselingkuh dengan supirnya --- proses perceraian itu berlangsung lama, memakan waktu yang cukup untuk mempertimbangkan perkawinan mereka.  Tetapi perselingkuhan itu tetap berlanjut walaupun supir muda itu telah berpindah kerja.  Anak mereka dua orang  --- kini keduanya ikut ibunya, yang juga seorang dokter spesialis.

Sang dokter telah bertetapan hati untuk mempersunting Partini --- keluarganya telah melamar Sang Gadis.  Gadis itu pun telah ikhlas untuk mengharungi samudra perkawinan --- dokter adalah lelaki yang lebih mengerti tentang tubuh dan penyakit. Ia calon tepatmu Tin !

Pesta telah berlalu --- Sang pengantin akan mengalami malam pertamanya.  Partini tidak mau lampu kamar dalam keadaan hidup.  Nafsunya telah bergelora dalam kamar pengantin itu.  Hartoyo meraba semua sudut tubuh isterinya.  Partini mengerang --- ia hanya terkesiap sebentar sewaktu Sang Dokter meremas payudaranya --- ia meneteskan air mata.  "Mas jangan tinggal Tini mas"   Sang dokter tidak mendengarkan kata-kata yang mengesankan itu. Kedua makhluk itu menggelinjang,  nafas memburu.  Terasa dengus dan lolongan Sang Dokter.  Pelukan merapat.  Partini menangis dalam erangan dan desahan --- dan mensyukuri telah mendapati suami yang ikhlas dengan kekurangan dirinya.

"Terimakasih mas " Partini merengkuh dan menanting wajah Sang Dokter --- ia melakukan ciuman dalam, ia tidak mengetahui mengapa secara naluri ia bisa melakukan itu.  Ia berterimakasih pada Sang Dokter yang telah meraba dan meramas dadanya ---  payudara  yang kiri tidak mempunyai puting --- hangus terbakar pada kecelakaan di rumah tetangganya.  Luka bakar itu bukan saja melumerkan puting susu kirinya, tetapi membuat cacat kulit perut dan pahanya --- yang lebih membebani  keluarga Haji Ali Imran sejak kecelakaan itu, adalah penyakit sejenis Epilepsi --- yang mengganggu Partini, sering lemas tidak sadarkan diri.

Malam ini Partini tertidur tidak sadarkan diri, dalam pelukan suaminya. Ia bersyukur menikmati Orgasme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline