Kalimat pertama : "Cerdik Semakin Dekat dengan Licik, Jujur Semakin Dekat dengan Bodoh" --- ini kalimat "luar biasa" dari Ir. Siswono Yudohusodo pada pameran seni lukis di kampus Universitas Gadjah Mada (Harian Kompas 300595). Konon waktu itu ia berperan diundang sebagai orang pribadi --- walaupun sebenarnya ia saat itu adalah Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. Jadi kalimat bijak itu telah tertanam 15 tahun di benak Cik Yung. Dari Jaman Orde Baru sampai Jaman Reformasi kalimat luar biasa itu, selalu mengusik pemikiran Cik Yung.
Guntingan koran itu, di-file di dalam Agendanya ! Kalimat itulah yang mempengaruhi hati nurani Cik Yung, bahwa Ir. Siswono Yudohusodo adalah seorang Pemimpin Indonesia. Tanpa melihat apa jabatan yang pernah disandangnya, apa peran dulu dan kini, atau apakah ia masih mempunyai komitmen untuk meneruskan "sikap budaya-nya itu" atau tidak.
"Limabelas tahun yang lalu Siswono telah mengumandangkan keadaan Budaya brengsek bangsa ini, ingat ia mengatakan itu pada saat ia menjadi Menteri, dan Pak Harto masih Presiden yang berkuasa --- apakah Pak Harto bereaksi apakah tidak --- kita tidak tahu " dijelaskan Cik Yung kepada audiensi, para pendukung gagasan peringatan Hari Kebangkitan Nasional di rumahnya.
"Cik, kita membutuhkan pemimpin yang berani 'menghentikan proses kebobrokan ini' ", kata kang Adi yang duduk di pojok, dekat akuarium.
"Jadi dalam 15 tahun ini kebudayaan Indonesia --- cara berpikir, cara bersikap, tabiat, sifat, dan paradigma-nya kian mundur --- Kita mempunyai sifat budaya yang retrogresif. Puah." Seorang anak muda , seorang mahasiswa sepertinya naik pitam.
"Mengapa bangsa ini menjadi begini --- menjadi bangsa yang bloon, tidak sadar diri, seperti tidak mempunyai ideologi, seperti tidak mempunyai filsafah kebangsaan --- seperti telah tersublimasi menjadi bangsa yang tidak mempunyai way of life --- tanpa kita sadari, way of life kita telah berubah !"
"Itulah yang dikatakan Buya Ahmad Syafii Ma'arif : Pemimpin dan masyarakat kita, banyak yang telah ‘mati rasa'. Mari kubacakan beberapa bagian harta karun-ku ini " kata Cik Yung sambil membuka lipatan klippingnya.
"Mati Rasa --- bisa menjadi mati hati nurani, alangkah gawatnya bangsa ini," keluh Cik Yung
"Kubacakan, dengar, kata-kata Siswono tadi ‘ ..............mengingatkan kita kepada nada syair Raden Ngabehi Ranggawarsita ( 1802-1873). Ya, benar ungkapan pujangga keraton Surakarta , yang akhir-akhir ini agak sering dikutip: ameningi wolak-waliking zaman, mengalami kemelutnya perubahan zaman !' "
"Tokoh wawasan kebangsaan itu tidak memakai ungkapan zaman edan, zaman gila, melainkan menyatakannya dalam kata-kata : ‘Ukuran-ukuran kewajaran itu bergeser dan setiap kali kita menemui ukuran kewajaran baru.' Kita lalu menangis karena harus menerima kewajaran baru itu sebagai kewajaran yang harus kita hidupi' ".
"Cik, kewajaran apa ? Sekarang bukan kewajaran lagi tetapi ‘ketidak wajaran yang membudaya '--- - bangsa kita menjadi tidak sadar diri --- betul kata buya Syafii Ma'arif......jadi sudah mati rasa !" sergah mahasiswa itu --- sambil menepuk meja dengan geramnya.