Lihat ke Halaman Asli

Paceklik Moral Serta Kesiapan Kerja sebagai Akibat dari Arah Pendidikan yang Tidak Jelas

Diperbarui: 8 Mei 2019   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

jpnn.com

Pendidikan adalah salah satu problem yang masyhur ada di Indonesia. Kritik yang dilayangkan pada pendidikan di Indonesia bukan hanya soal sistem  yang dinilai kurang sesuai tapi sudah pada tingkat paradigma dalam pendidikan yang dinilai kurang tepat sehingga berujung pada munculnya problem yang berkepanjangan dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Hal yang membingungkan kemudian adalah tujuan nyata yang diinginkan dari hasil pendidikan yang ada di Indonesia yang tidak jelas arahnya. Jika kompetensi acuan yang diajukan adalah keterampilan dan kesiapan kerja bagi peserta didik, maka pada kenyataannya terjadi keluhan yang ada secara berjenjang dari tingkat SMP yang mengeluhkan keluaran SD dan terus seperti itu sampai pada tingkat industri yang mengeluhkan hasil keluaran perguruan tinggi, diploma, dan SMK.

Dilihat dari hal ini, maka jika kompetensi acuan tersebut adalah kesiapan kerja pada nyatanya keluhan atas hasil keluaran pendidikan itu sudah muncul pada tingkat yang paling rendah yang ada dan hal itu terus berkelanjutan secara berjenjang.

Kemudian, jika kompetensi yang diajukan adalah moralitas atau sikap peserta didik yang baik---dalam hal ini tidak hanya mengenai sopan santun, tetapi juga sikap peserta didik atau tanggapan peserta didik dalam budaya nasional baik yang bersifat seni ataupun praktik norma, maka pada kenyataanya telah terjadi kemerosotan moral yang tampak jelas muncul pada saat tulisan ini ditulis.

Untuk menyikapi hal ini atau sebagai sebuah solusi pemerintah melakukan standarisasi pendidikan dengan UN sebagai tolak ukur kemampuan siswa. Materi yang diujikan kemudian adalah Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, dan materi jurusan. Dengan ini diharapkan akan keluaran yang mampu diandalkan sebab adanya standarisasi yang memungkinkan pemerintah mengontrol output pendidikan tersebut.

Pada kenyataannya adalah bahwa pengakuan dunia industri tentang ketidaksiapan dari para keluaran pergururan tinggi atau setidaknya keluhan perguruan tinggi akan ketidaksiapan lulusan SMA menunjukkan bahwa hal ini tidak benar-benar berdampak pada output yang dikeluarkan oleh sekolah sebagai pelaksana pendidikan.

Bahkan dengan adanya standarisasi ini memunculkan adanya batasan yang  dibuat peserta didik sebagai acuan kecukupan mereka, sehingga belajar bukan lagi soal mencari pengetahuan akan tetapi belajar adalah agar mencapai batasannya, agar mencapai targetnya dan kemudian lulus dari sekolah.

Jika kompetensi yang diingin kemudian memang bukan kesiapan kerja akan tetapi moral, seperti yang telah disebutkan ternyata dalam UN yang dianggap sebagai tolak ukur kecakapan peserta didik, pendidikan agama bukan menjadi salah satu yang termasuk dalam hal yang diujikan sehingga bahkan terkadang ketika pendidikan telah mencapai pada kelas terakhir dalam sebuah jenjang pendidikan, pelajaran pendidikan agama ini akan terkurang jamnya tau bahkan terhilangkan jamnya demi mencapai target nilai supaya kemudian lulus dari sekolah. Padahal, pendidikan agama adalah salah satu cara agar moral peserta didik dapat dibangun dengan baik melalui pendekatan keimanan atau tauhid, kemudian akan diteruskan pada pengajaran nilai-nilai agama yang kaya akan norma dan budi pekerti.

Maka, sebenarnya kedua hal yang dicoba dibayangkan menjadi tujuan keluaran pendidikan Indonesia ini adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan salah satunya dari salah satu yang lain. Jika kemudian memang salah satu tujuan tersebut tercapai misalnya kesiapan kerja peserta didik sangat baik namun moral yang dimiliki buruk, maka etos kerja yang ada akan menjadi buruk.

Ataupun sebaliknya ketika moral peserta didik tersebut baik namun peserta didik ini tidak punya kreatifitas untuk melawan kerasnya dunia kerja, maka secara terang dan seketika peserta didik tersebut akan kalah dalam persaingan pasar. Yang kemudian perlu ada adalah perubahan paradigma mendasar tentang pendidikan di Indonesia di mana belajar bukan lagi soal capaian nilai melainkan kemampuan yang dimiliki oleh setiap peserta didik.

Selain itu capaian yang diukur juga bukan hanya persoalan yang dibutuhkan dalam dunia kerja karena pada kenyataanya yang sering menghancurkan etos kerja adalah moral yang tidak baik dari individu secara personal sehingga hasil kerja yang sebenarnya telah dibarengi dengan kreatifitas pun tidak lagi menjadi baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline