Setiap bulan Juni, yang dikenal dengan "Pride month" di kalangan LGBT, ada saja kedutaan besar negara Barat yang mengibarkan bendera "Pelangi"-nya LGBT di negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim. Hal ini susah diterima. Ada perbedaan pandangan mengenai definisi norma di Barat dan di dunia Islam. Di Barat, apa saja yang diterima mayoritas bisa dijadikan norma, sedangkan di dunia Islam norma hanya berdasarkan Quran dan hadits. Walau begitu, hampir tidak ada homoseksual yang diusir atau dipersekusi dalam perjalanan sejarah Islam, argumen Quran mengenai kasih sayang menggantikan dugaan sebuah hadits mengenai menghukum kaum homoseksual. Kebanyakan muslim tutup mata terhadap kaum ini. Cendekiawan Muslim Amerika Scott Siraj al-Haqq Kuggle telah menulis buku secara persuasif tentang hak-hak kaum gay, lesbian, dan transgender yang muslim.
Memang, perasaan manusia seperti jatuh cinta (termasuk ke yang sejenis) tidak bisa diatur atau direncanakan. Siapa yang bisa melarang perasaan? Menjadi lain bila perasaan berubah menjadi tindakan. Karena dalam Islam, segala sesuatu itu halal kecuali yang ada aturan larangannya, tetapi khusus untuk hubungan seksual segalanya haram kecuali ada kontrak pernikahannya. Sedangkan, syarat pertama pernikahan dalam islam yaitu ada calon pengantin laki-laki dan perempuan, dan definisi kelamin laki-laki atau perempuan ditentukan secara fisik, bukan jiwanya. Pengadilan Negeri Indonesia pun telah beberapa kali mengabulkan permohonan perubahan status jenis kelamin transgender yang telah operasi. Ada juga yang menikah kemudian, tetapi demi ketertiban umum menjadi tabu untuk dibicarakan atau dipamerkan secara terbuka, selama dalam lingkup privasi, kebanyakan berpendapat itu adalah urusan dia dan Tuhannya. Jatuh cinta memang tidak bisa dilarang, tetapi mengamalkannya terikat aturan agama, hukum dan budaya.
Di tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengeluarkan Homoseksual dari daftar penyakit dan menyatakan cinta sejenis sebagai orientasi seks yang normal dan sehat. Bagi negara-negara yang mayoritas muslim tidak ada pengaruhnya, tetapi dalam pemikiran Sentris-Barat, ini adalah pengesahan LGBTQ secara norma dan hukum. Selanjutnya, kata "Homoseksual" pun secara resmi diganti dengan singkatan LGBTQ karena kata homoseksual mengandung konotasi negatif sebagai penyakit. Kini, kata homoseksual hanya digunakan terbatas di dunia medis dan akademis. Secara umum, kalangan medis/akademis membagi kaum homoseksual menjadi 3 kelompok, mereka yang menjadi homoseks karena bawaan dari lahir (pengaruh gen, hormon atau lainnya), mereka yang waktu kecil mengalami kekerasaan seksual (akibat trauma), dan mereka yang menjadikannya ideologi/gaya hidup (pengaruh keadaan dan lingkungan). Sesudah Revolusi Seks di tahun 1960an, kaum LGBTQ mulai memperjuangkan ideologinya melalui jalur politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kita lihat di Barat politisinya mulai memperjuangkan hak-hak LGBTQ, perusahaan-perusahaan besar mensponsori kegiatan-kegiatan mereka, masuknya pelajaran mengenai LGBTQ ke dalam kurikulum sekolah, bagaimana film-film Hollywood menampilkan adegan-adegan yang menjurus pada LGBTQ, bahkan dalam film-film kartun juga, dan lain sebagainya.
Sekarang, LGBTQ bisa diterima secara terbuka di dunia Barat, biarpun di sana sini ada saja penolakan-penolakan dari sebagian masyarakat, seperti baru-baru ini penolakan transgender menggunakan WC umum wanita di Inggris yang disuarakan oleh penulis J. K. Rowling, memunculkan wacana WC Umum ke tiga untuk transgender. Tetapi, secara garis besar percintaan sesama jenis secara terbuka bisa diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Hal ini tidak begitu aneh kalau kita membaca naskah "Simposium"nya Plato yang memang memberi nilai pada percintaan sesama jenis. Bisa jadi, ini yang membuat masyarakat Barat bisa mudah menerima LGBTQ secara terbuka, karena bagaimanapun juga peradaban Barat dipengaruhi budaya Greco-Roman (Yunani-Romawi). Bila, mereka membicarakan filosofi cinta, maka biasanya, acuannya pada tulisan Simposium-nya Plato, dan untuk itu saya kutip singkat dari satu bagian ceritanya sebagai penutup.
Simposium bercerita tentang sebuah pesta perjamuan yang tamunya semua laki-laki, dan dalam kesempatan itu mereka membicarakan tentang cinta dan nafsu. Pembicaranya adalah filsuf Socrates, politikus dan juga jenderal Alcibiades, dan dramawan Aristophanes, tanpa ada pembicara dan kehadiran wanita sama sekali. Saya ambil dengan definisi manusia menurut Aristhophanes, bahwa ada 3 jenis manusia yaitu maskulin, feminim dan androgini. Pada awalnya, bentuk manusia adalah badannya bundar, berkepala dua, bertangan empat, berkelamin dua, berkaki empat. Laki-laki lahir dari matahari, perempuan lahir dari bumi dan androgini dari bulan. Manusia masih menyatu dalam satu kesatuan, dan mereka dilarang mendekati Gunung Olympus oleh Dewa Zeus. Dalam bentuknya, manusia bergerak dengan menggelinding, dan pada suatu waktu, mereka mendaki Gunung Olympus menantang kekuatan dan keagungan Dewa Zeus. Walau, watak para manusia ini boleh dibilang kurang ajar, namun Zeus tidak mungkin memusnahkan mahluk manusia karena mereka memberi sesajen kepada dewa-dewa, tetapi kekuatan manusia membuat Zeus kuatir. Jadi, yang dilakukan Zeus adalah mengutuk manusia dengan membelah mereka menjadi dua. Sejak saat itu, setengah manusia merindukan setengahnya lagi untuk kembali ke bentuk semula.
Manusia mulai mencoba melekatkan diri antar mereka, setiap hari sehari penuh hanya berusaha menempelkan diri terus menerus agar bisa kembali ke bentuk awal mereka. Usaha sia-sia ini menyebabkan manusia mulai mati satu per satu. Mereka tidak peduli tentang lapar, atau haus, atau tentang kerja, tidak juga memperhatikan kegiatan-kegiatan untuk mempertahankan hidup. Hal ini membuat Dewa Zeus terharu atas malapetaka ini, dan memutuskan untuk memberi pelepas kegalauan mereka dengan penyatuan alat kelamin. Apakah itu perempuan dengan perempuan, laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan laki-laki, penyatuan alat kelamin membuat mereka mendapatkan kepuasan. Manusia kembali bekerja, menghidupi diri mereka dan membaktikan diri mereka pada segala aktifitas untuk bertahan hidup.
Aristhopanes melanjutkan bahwa di saat itulah Dewi Aphrodite muncul. Dalam naskah Simposium disebutkan bahwa ada dua Dewi Cinta yang bernama Aphrodite, yaitu yang satu dikenal sebagai Aphrodite Sepuh dan yang satunya adalah Aphrodite Muda. Aphrodite Muda memberi dua sifat cinta yang disebut Eros dan Philia. Eros adalah cinta seksual, yang didasarkan pada nafsu/birahi. Philia adalah cinta berdasarkan nilai atau kualitasnya: cantik, bijak, lembut, ramah, pengertian, dsb. Sedangkan, Aphrodite Sepuh memberi satu sifat cinta yang disebut Agape. Agape adalah cinta yang tidak mementingkan diri sendiri, atau cinta tanpa batas, atau cinta tulus, atau cinta tanpa syarat (bahasa Inggris: unconditional love).
Bahwasanya eros dan philia bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, tetapi tidak demikian dengan agape, ia hanya bisa dimiliki kaum laki-laki saja. Sebesar apapun cinta seorang perempuan, ia tidak akan pernah bisa memberi cinta yang bersifat agape. Agape hanya bisa dimiliki kaum laki-laki. Jadi kesimpulannya, bila kita berbicara cinta sejati, di mana masing-masing memberi agape, maka hal ini hanya bisa dilakukan oleh laki-laki dengan laki-laki, atau pasangan gay menurut Aristhophanes, karena masing-masing membawa agape (ada 2 agape). Di bawah cintanya gay, dilanjutkan dengan cinta heteroseksual karena hanya laki-lakinya yang membawa agape , perempuannya tidak (ada 1 agape). Cinta yang paling rendah adalah cinta kaum lesbian karena tidak ada agape-nya sama sekali.
Memang, ini hanya sebatas dongeng, hanya ini mirip-mirip dengan apa yang dikatakan Napoleon Bonaparte bahwa sejarah adalah dongeng yang disepakati. Dalam hal ini ini bukan sejarah, tetapi lebih ke psikologi budaya, semacam pengaruh di alam bawah sadar mereka di Barat. Tentu saja, banyak dari kita di sini yang tidak setuju dengan Aristhophanes mengenai siapa pemilik agape di manusia, bahwa cinta sejati dan tulus, atau agape lebih berhak disandang para ibu kepada anak-anaknya. Karena ibu adalah wanita yang membutuhkan suami laki-laki untuk mempunyai anak, maka cinta yang paling sempurna adalah cinta kaum heteroseksual. Tentu saja, pendukung Aristhopanes mengatakan kasih ibu bukanlah agape, tetapi hanyalah naluri keibuan, tetapi inti dari pembicaraan Aristhopanes lebih pada menerima konsep dari manusia androgini, yang mewakili konsep LGBTQ saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H