Akhir-akhir ini sering terjadi fenomena kriminalisasi dalam hukum di Indonesia. Kriminalisasi adalah proses mengangkat perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan yang dapat dipidana. Proses kriminalisasi ini terdapat didalam tahap formulasi dari pembaharuan hukum pidana. Beberapa contoh kasus besar mengenai kriminalisasi di Indonesia yaitu kasus IM2 dan Chevron. Baru-baru ini terdapat kasus baru yang dikriminalisasi yaitu kasus LTE PLTGU Belawan. Namun terdapat berbagai kejanggalan dalam tuntutan kejaksaan dalam kasus ini.
Berikut beberapa tuntutan kejaksaan yang dianggap berbagai pengamat tidak memiliki dasar yang cukup kuat.
Penyidik dari Kejagung menyatakan beban listrik yang tedapat PLTGU Belawan tidak sesuai dengan kontrak, ini dikarenakan pada saat penyidikan ditemukan bahwa alat tersebut hanya memikul beban 123MW. Hal ini dibantah langsung oleh Kuasa Hukum PLN, Todung Mulya. Ia menyatakan bahwa tuduhan dari kejaksaan tidak benar dikarenakan beban 123 MW yang diperoleh penyidik Kejagung bukan berasal dari hasil pengujian tetapi kejaksaan hanya menyaksikan mesin yang pada saat itu hanya memikul beban 123 MW di siang hari. Padahal berdasarkan pengujian yang sebenarnya oleh lembaga sertifikasi, daya mampu GT 2.1 mampu mencapai 140,7 MW sehingga melebihi daya mampu minimal kontrak.
Tidak hanya itu, kejaksaan yang menilai PLN merugikan keuangan negara juga tidak berdasar. Alasannya, realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal. Pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapn CO, tertulis sebesar Rp 645 miliar, sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya 431 miliar. Todung mengatakan, kerugian negara yang dituduhkan oleh jaksa mencapai Rp 2,3 triliun tersebut, kemungkinan disimpulkan jaksa dari pembayaran yang telah dilakukan kepada Mapna Co sebesar Rp 300 miliar lebih, ditambah potensi pendapatan sebesar Rp2 triliun dari pengoperasian pembangkit tersebut.
Menurut Todung, dalam pekerjaan LTE, PLN justru berhasil melakukan penghematan. Alasannya, realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal. Pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapna Co, tertulis sebesar Rp 645 miliar , sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya Rp 431 miliar .
“Dengan nilai kontrak sebesar Rp 431 miliar, justru PLN berhasil melakukan saving sebesar Rp 214 miliar (RAB Rp 645 miliar dibandingkan nilai kontrak Rp 431 miliar), sehingga tuduhan kerugian negara tidak terbukti.” kata Todung.
Masalah tuduhan merugikan negara tersebut juga disanggah oleh Pakar Hukum Universitas Indonesia, Dr Dian Simatupang. Menurut Dian, dalam kasus PLN tidak ada unsur kerugian negara. Dalam hal proyek peremajaan PLTGU Belawan ini tidak ada uang negara dalam APBN yang digunakan. Namun dana yang dipakai dalam proyek tersebut murni menggunakan anggaran dari PLN.
Kejaksaan juga menilai sistem pemilihan langsung pihak PLN dianggap ada indikasi KKN. Hal ini dibantah secara tegas oleh Dirut PLN, Nur Pamudji. Nur Pamudji yakin proses tender untuk proyek LTE PLTGU Belawan telah sesuai dengan prosedur dan tata kelola usaha yang baik. Keputusan PLN melakukan pemilihan langsung untuk mengerjakan proyek LTE secara teknik dan prosedur sudah tepat, sesuai dengan pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) dengan standar terbaik.
Pemilihan langsung pemegang tender ini seharusnya diapresiasi sebagai tindakan tegas dan profesional dari PLN. Pasalnya bila tidak dilakukan pemilihan langsung, krisis listrik di Medan dan Sumut akan lebih buruk lagi.
“Bila tidak dilakukan pemilihan langsung, krisis listrik di Medan dan Sumut akan lebih buruk lagi. Sebab jam operasional kedua mesin itu sudah di atas 100 ribu jam. Potensi gangguannya sangat besar bila tidak segera diremajakan sehingga berdampak pada ketersediaan listrik di Medan dan Sumatera Utara,” papar Nur Pamudji. PLN berkeyakinan telah menjalankan semua prosedur aturan dalam perkara ini, termasuk melakukan pemilihan langsung dengan Mapna Co sebagai pemenang. Langkah ini dilakukan setelah sebelumnya penunjukan langsung kepada PT Siemens, sebagai pembangun pembangkit awal, juga mengalami kegagalan karena tingginya anggaran yang diminta. Siemens sendiri menetapkan budget sebesar Rp 830 Miliar sedangkan pagu anggaran PLN sendiri hanya sebesar 645 Miliar. Selain itu, pemilihan Mapna disebabkan Siemens tidak memenuhi dan tidak menyertakan persyaratan Rejection Condition, yaitu tidak menyampaikan total waktu penyelesaian pekerjaan dan tidak menyampaikan garansi Daya Mampu/Mega Watt yang dihasilkan).
Sementara Mapna memberikan garansi dan memiliki spesifikasi peralatan dan produk yang sama dengan Siemens. Untuk diketahui, peserta pemilihan langsung dalam proyek ini adalah Siemens, Mapna, dan Ansaldo Energia. Nama terakhir belakangan menyatakan mundur.