Senja ini diguyur hujan disertai angin yang menyapa manis dari langit. Menambah dinginnya suasana, senajku tak lagi hadir dengan kemegahan jingganya. Segelas kopi menemani senjaku sore ini, kusesap aroma kopi dengan kenikmatan syahdu, baunya menjadi candu. Membawa kenangan jauh ke masa yang telah lalu. Asyiik
Narasumber malam ini adalah Sudomo, S.Pt. seorang sarjana peternakan yang saat ini mengajar IPA, ditemani Bapak Sigit sang moderator andal. Selain aktif mengajar saat ini beliau alumni Guru Penggerak Angkatan 2 Kabupaten Lombok Barat juga menjadi Ketua Komunitas Guru Penggerak Kabupaten Lombok Barat.
Tidak terasa malam ini pertemuan ke 10 di BM 27, artinya sudah setengah perjalanan dilalui. Untuk lulus BM harus memenuhi syarat dengan minimal 20 kali pertemuan kemudian hasil pertemuan tersebut dibukukan, meskipun hasil resume bukan syarat mutlak. Jadi kita bisa membuat buku solo entah itu puisi, pantun bahkan cerpen sekali pun.
Menulis merupakan pekerjaan yang sedikit memeras otak apalagi fiksi yang penuh diksi. Aku yang miskin kosakata merasa kesulitan ketika harus menulis fiksi. Fiksi memerlukan daya hayal tinggi, butuh imajinasi untuk bisa bebas mengekspresikan diri. Berikut penjelasan narasumber tentang menulis fiksi.
A. Pengertian fiksi
Menurut Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) fiksi adalah cerita rekaan dalam karya sastra. Fiksi dalam bahas Inggris adalah fiction. Fiksi merupakan karya sastra non ilmiah yang dibuat tidak berdasaran fakta dan realiata, tetapi dibuat dengan imajinasi dan khayalan dari penulisnya.
Fiksi adalah cerita yang mengangkat tema tentang hayalan atau imajinasi yang tidak nyata. Cerita fiksi ini banyak sekali penggemarnya dari anak remaja sampai dewasa karena ceritanya sangat menarik dan imajinatif.
B. Mengapa harus menulis fiksi
Salah satu aspek yang dinilai dalam Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) adalah Literasi Teks Fiksi. Dengan belajar menulis fiksi, tentu seorang guru akan lebih mudah membuat soal latihan AKM bagi murid-muridnya.
Menulis fiksi merupakan cara asyik untuk menyembunyikan dan menyembuhkan luka. Dengan menulis fiksi, seorang guru bisa menyuarakan isi hatinya melalui tokoh-tokoh yang diciptakannya.