Lihat ke Halaman Asli

Konsumerisme dalam Perayaan Natal

Diperbarui: 11 Februari 2019   18:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Penulis

TIDAK terasa kini sudah memasuki bulan Desember, kalender mengingatkan pada kita bahwa perayaan Natal telah tiba. Rumah dan gereja kembali dihias dengan pohon Natal, lagu Natal pun berkumandang di mana-mana. Mall dan toko-toko ikut merayakan dengan menaruh pohon Natal di setiap sudut, pula banyak baliho dan spanduk mulai bertebaran yang bertuliskan, "Happy Merry Christmas".

Suasana sukacita Natal begitu terasa di setiap bulan Desember. Sebab, pada bulan tersebut umat Kristen merayakan hari Natal sebagai wujud mengenang kisah lahirnya Sang Juru Selamat (Yesus).

Melacak sepintas sejarah perayaan Natal yang  kini selalu kita rayakan sebagai perayaan lahirnya Yesus yang merupakan tokoh sentral dalam Agama Kristen. Patut diketahui bahwa perayaan Natal baru dimulai sekitar tahun 200 M di Aleksandria (Mesir).

Dimana para teolog Mesir menunjuk tanggal 20 Mei dan ada pula pada 19 Mei, juga ada 20 April. Sedangkan di tempat-tempat lain perayaan Natal dilakukan pada tanggal 5 dan 6 Januari; ada juga dirayakan bulan Desember.

Untuk perayaan Natal pada tanggal 25 Desember dimulai tahun 221 M oleh Sextus Julius Africanus (seorang pengelana dan sejarawan Kristen Romawi), dan baru diterima secara luas pada abad ke-5.

Apabila kita menelisik lebih jauh sejarah perayaan Natal, kita akan dibawa pada suatu perdebatan panjang : ada yang tidak mengakui Yesus lahir tanggal 25 Desember dan pula sebaliknya. Namun disini saya tidak mengulas hal itu, sebab tulisan ini lebih fokusnya pada esensi Natal yang sesungguhnya.

Konsumerisme

Dalam perayaan Natal, kita biasanya sibuk menyiapkan beragam hal, mulai dari menghias rumah dengan pernak-pernik Natal sampai pada kebutuhan material.

Kebutuhan material seakan menjadi wajib bagi kita dalam perayaan Natal, ini adalah suatu pola baru kapitalisme menjerat kita melalui produk. Kendati demikian, berapa pun harga dan dalam kondisi ekonomi separah apapun, kita tetap membelinya. Itu semua dengan alasan, persiapan menyambut hari lahirnya Sang Juru Selamat.

Ada istilah lazim bahwa dalam perayaan Natal 'semua harus serba baru'. Pakaian ibadah harus baru, pula mengikuti trend model pakaian yang harus sesuai zaman, rambut (bagi perempuan) harus diluruskan atau merapikan (smoothing) dan lainnya.

Lihat saja, setiap perayaan Natal gereja seakan menjadi wadah di adakan kegiatan peragaan busana (fashion show). Gereja di penuhi dengan beragam model pakaian yang kita kenakan, masing-masing menunjukan gaya hidup (lifestyle) dan pakaian yang serba baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline