Lihat ke Halaman Asli

Politik Uang Racun Demokrasi

Diperbarui: 25 November 2018   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

POLITIK uang saat ini sedang marak terjadi dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Ini sudah menjadi masalah klasik yang menggerogoti demokrasi Indonesia. Berdasarkan data Bawaslu kasus politik uang pada Pilkada sebelumnya sebanyak 35 kasus, kemudian juga Bawaslu merilis Indeks Kerawanan Pemilih (IKP) di tahun 2019, sebanyak 176 daerah kabupaten atau kota masuk dalam kategori rawan tinggi politik uang. Sementara sisanya sebanyak 338 daerah masuk kategori rawan sedang.

Tahun 2019, Indonesia kembali mengadakan pemilihan umum secara serentak yakni, pemilihan anggota legislatif bersamaan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sebagaimana proyeksi Bawaslu di atas bahwa di tahun 2019 masih tinggi rawan politik uang di 176 daerah kabupaten atau kota dan 338 daerah yang masuk kategori sedang. Itulah sebabnya butuh pencegahan praktik politik uang dalam pemilihan umum.

Musabab Politik Uang

Pada dasarnya politik uang merupakan 'Racun' demokrasi, yang mencederai kualitas demokrasi. Kualitas demokrasi akan baik, jika proses demokrasi berjalan sesuai koridor aturan yang berlaku. Namun realitasnya, praktik politik uang dalam setiap perhelatan pesta demokrasi tidak terhindarkan.

Hal ini, disebabkan oleh beberapa hal yang mengakibatkan maraknya politik uang yakni : Pertama, Pengaruh kondisi ekonomi. Idealnya, publik yang secara kebutuhan ekonomi sudah baik, maka sangat sulit menerima politik uang yang diberikan oleh calon; sebaliknya publik yang secara latar belakang ekonomi masih dalam kategori belum baik, maka dengan mudah menerima politik uang. 

Kedua, Publik resah atau kecewa terhadap buruknya kinerja anggota legislatif. Olehnya itu, publik berpikir secara pintas bahwa menerima politik uang lebih baik, ketimbang menolak. Sebab, melihat dari pengalaman ketika publik sudah memberikan mandat terhadap anggota legislatif, namun dalam masa periodisasi tidak tampak kinerja anggota legislatif.

Ketiga, rendahnya pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan pemilih, sehingga tidak tahu paramater atau indikator yang dipakai sebagai pijakan dalam memilih, akhirnya ketika ada tawaran uang dari calon atau tim sukses dengan mudah menerima. Hal senada  juga dikatakan oleh, Laothamatas (1996) bahwa pemilih menentukan pilihan berdasarkan tawaran konkret berupa uang. Pemilih demikian lebih mengutamakan terpenuhinya kebutuhan real dan bukan sesuatu yang abstrak seperti nilai-nilai demokrasi, karena tingkat pendidikan yang rendah.

Keempat, musabab lain maraknya politik uang dikarenakan lahirnya politisi-politisi 'Makiavelis'. Makiavelis adalah sebutan bagi pegikut teori politik Niccolo Machiavelli. Kita tahu bahwa Niccolo Machiavellis merupakan salah satu pemikir politik yang banyak memperdebatkan pemikiranya. Karena menurutnya dalam perebutan kekuasaan, segala cara bisa dilakukan guna mencapai suatu tujuan yang di inginkan.

Dan dii tahun 2019, politisi 'Machiavelis' tetap saja ada. Politisi tipikal ini, menerapkan cara-cara yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, termasuk menghalalkan politik uang sebagai cara untuk menggaet suara publik dalam pemilihan. Hal itu dilakukan sebagai stimulus dalam menduduki jabatan politik. 

Edukasi Politik

Untuk merawat demokrasi yang sehat dan mewujudkan demokrasi yang berkualitas, maka edukasi politik harus masif dilakukan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline