[caption id="" align="aligncenter" width="580" caption="Sumber: Reutersmedia.net"][/caption]
Pesawat Germanwings yang membawa total 142 penumpang dan 6 awak pesawat jatuh di kawasan pegunungan Perancis pada Selasa, 23 Maret 2015 pada 52 menit setelah lepas landas. (Reuters.com)
Peristiwa jatuhnya Germanwings pada hari ini sedikit banyak semakin memperkuat stigma mengenai risiko kecelakaan udara yang begitu tinggi. Bahkan hingga ada pepatah, “The sky is wide open.” Tentunya masih teringat jelas di ingatan kita, kecelakaan pesawat yang sangat fenomenal yakni Air Asia QZ 8501 pada bulan Desember 2014 lalu. Setidaknya diperkirakan 162 orang menjadi korban.Kenapa saya sebut fenomenal? Kecelakaan inilah yang lantas menyulut beberapa perdebatan baik di kalangan Air Traffic Control, pilot, maupun penumpang itu sendiri karena kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan.
Namun, pada kali ini saya tidak akan menyinggung kembali permasalahan Low Cost Carrier tersebut. Saya akan mencoba berbagi sedikit pengetahuan mengenai aksiden dipandang dari Aviation Psychology. Sebelumnya, pasti ada beberapa di antara Anda yang bertanya: “Memangnya Psikologi membahas soal pesawat terbang juga?” Pertanyaan yang sama pada saat saya diwajibkan mengontrak mata kuliah Psikologi Dirgantara.
Jawabannya: Ya. Kami belajar soal itu bahkan mengenai pesawat terbangnya sendiri.
Pada setiap aksiden yang dialami sistem transportasi baik udara, laut, maupun darat, setidaknya ada anggapan yang muncul mengenai faktor penyebab kecelakaan tersebut. Itulah pentingnya peran Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) untuk mengungkap faktor penyebabnya. Tidak sedikit pula yang sempat menuding, dalam hal ini pada penerbangan, human error padapilot sebagai salah satu dari banyak sebab jatuhnya pesawat terbang. Hal yang paling penting bahwa kita tidak bisa menyebutkan ‘penyebab’ sebagai satu-satunya hal yang pada akhirnya menimbulkan suatu aksiden pesawat terbang. Menurut buku Aviation Psychology and Human Factor, “Causes are best understood as facilitators of accidents rather than determinants of accidents” yang berarti cara terbaik memahami sebuah aksiden adalah dengan memandang faktor penyebab sebagai fasilitator kecelakaan, bukan penentu utama kecelakaan itu.
Biasanya, faktor yang kemudian dianggap sebagai penyebab jatuhnya pesawat terbang adalah hal yang paling akhir terjadi sebelum kecelakaan. Misalnya, dalam kasus jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 tersebut, disebutkan bahwa salah satu sebab yang sudah diungkap adalah karena ketinggian pesawat terbang yang ekstrem, sehingga pesawat mengalami kelelahan logam dan gangguan lainya, jatuh, kemudian meledak.
Sebenarnya setiap aksiden yang terjadi adalah hasil interaksi situasi yang begitu kompleks seperti cuaca ekstrem, kondisi fisik pesawat, kondisi support system (ATC, pengarah cuaca), hingga kemampuan penerbang dalam kondisi tersebut. Simply say, semua aksiden adalah hasil dari banyak faktor penyebab sebagai fasilitator kecelakaan tersebut. Namun, setidaknya aksiden pesawat terbang dapat digolongkan ke dalam tiga kategori besar menurut Aircraft Owners and Pilot Association (2006):
1.Pilot-related accident akibat ketidaktepatan aksi dan inaksi dari pilot.
Berdasarkan studi yang dilakukan pada tahun 2005, kategori ini memiliki persentase tertinggi yakni 82.9% pada fatal accident, dengan sebab aksiden tertinggi (33,1%) pada saat manuver dilakukan.
2.Mechanical accident akibat kegagalan komponen mekanik atau gangguan.
3.Unknown accident akibat hal-hal di luar itu.
Hal yang kembali harus digaribawahi bahwa tiga kategori di atas tidak menjelaskan faktor penyebab terjadinya sebuah aksiden pesawat terbang. Melainkan, masih ada kondisi lain yang pada akhirnya dikombinasikan dan terjadilah kecelakaan tersebut. Misalnya pada teori Swiss Cheese Model yang diajukan oleh Reason. Ia menjelaskan penyebab aksiden berdasarkan tingkatan-tingkatan perilaku yang bisa dilakukan berkaitan dengan safe operation. Menurutnya pemerintah, organisasi, dan bahkan orang-orang di sekitar dapat membentuk penghambat terhadap terjadinya sebuah aksiden.
[caption id="attachment_405110" align="aligncenter" width="300" caption="Swiss-Cheese Model Theory by Reason"]
[/caption]
Lalu, sejauh mana Psikologi membahas mengenai aksiden pesawat terbang? Selanjutnya, Psikologi lebih banyak mengkaji dunia penerbangan dari segi psikologis penerbang. Aksiden terjadi tidak dapat dipungkiri bisa karena salah satunya adalah faktor psikologis penerbang. Faktor psikologis yang berkontribusi dalam hal ini antara lain kemampuan pilot mengambil keputusan (Aeronautical Decision Making), penghayatan pilot terhadap apa yang terjadi padanya (Locus of Control), keawasan pilot pada saat aksiden terjadi (Situational Awareness), sikap pilot yang dapat membahayakan (Hazardous Attitudes), hingga pemaknaan dan tolerasi pilot terhadap risiko terjadinya aksiden (Risk perception and Risk Tolerence).
Intinya, sebuah aksiden pesawat terbang seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Baik sebagai penumpang yang kadang-kadang sulit memahami kenapa pesawat delay namun ketika pesawat jatuh, justru marah-marah. Sebagai penerbang yang pasti menyadari beratnya beban tugas ia (ada banyak keterampilan yang harus pilot kuasai dalam satu waktu, loh!) sehingga ia harus benar-benar hati-hati dalam bertindak. Sebagai bagian dari supporting system yang tentunya sangat berperan penting satu sama lain. Dan yang utama juga sebagai jajaran pemerintahan untuk tetap kencangkan ikat pinggang dan tidak melupakan satu prinsip paling utama yang dipegang semua penerbang di dunia ini:
Safety, safety, safety.
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H