Pelecehan seksual adalah isu yang sedang marak menjadi perbincangan di tengah masyarakat di Indonesia. Kasus pelecehan seksual sudah tidak menjadi berita asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Meskipun sudah sering terjadi, kasus pelecehan seksual masih belum terlalu ditanggapi serius oleh masyarakat atau pihak yang berwenang, bahkan ada beberapa kasus pelecehan seksual yang mungkin belum terungkap. Pelecehan seksual tidak memandang umur, jenis kelamin, dan lain-lain. Pelaku pelecehan seksual didominasi dengan laki-laki. Walaupun sebagian besar pelaku pelecehan seksual didominasi laki-laki dan korban adalah perempuan,namun tidak menutup kemungkinan,dalam beberapa kasus laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual. Pelecehan seksual dapat terjadi kapanpun dan dimanapun. Aksi fenomena ini juga dapat dilancarkan pelaku baik secara langsung maupun melalui media sosial. Kasus ini banyak terjadi di kalangan remaja dan tidak sedikit pula korban yang masih dibawah umur. Banyak faktor yang mempengaruhinya, salah satunya yakni pengetahuan dan sikap yang dinilai kurang baik.
Melihat maraknya kasus pelecehan seksual pada perempuan membuat saya sebagai perempuan juga merasa takut, kecewa, sakit hati, dan prihatin dengan adanya berita yang beredar tentang pelecehan seksual. Seseorang yang melakukan hal tidak senonoh dengan aksi gilanya tersebut merupakan seseorang dengan nilai etika yang buruk. Saat seseorang memiliki hati nurani dan etika yang baik akan meminimalisir berperilaku yang tidak baik atau sesat. Hidup dapat disebut dengan pilihan, seseorang dapat menentukan dan memiliih bagaimana arah hidupnya, seseorang harusnya akan memilih sesuai dengan kondisi dan isi dari pikiran mereka. Mereka yang memilih untuk melakukan tindakan kriminal seperti pelecehan seksual termasuk orang yang sesat dan tidak memiliki pandangan hidup.
Belakangan ini sedang ramai sebuah kasus tentang pelecehan yang dilakukan oleh seorang pria yang memiliki kekurangan atau disabilitas yakni I Wayan Agus Suartama atau yang dikenal sebagai agus buntung, pria disabilitas yang berasal dari Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Agus mulai menjadi bahan perbincangan di kalangan masyarakat Indonesia khususnya pada media sosial perkara ulah yang dibuatnya yakni pelecehan seksual. Keterbatasan yang ia miliki tidak mengguncang niatnya untuk melakukan aksi gila pada beberapa perempuan. Agus melakukan aksi gilanya ini pada kurang lebih 13 perempuan yang menjadi korban pelecehan oleh agus buntung dan beberapa diantara masih berada dibawah umur. Kasus ini menimbulkan keraguan dan pemahaman masyarakat terkait kemampuan dan keterbatasan penyandang disabilitas dalam melakukan tindak kriminal. Sebelum kasus ini ditangani, masuk ke ranah hukum dan hanya viral di media sosial, tidak sedikit masyarakat memberikan tanggapan dan timbul berbagai pertanyaan, seperti "bagaimana seseorang dengan keterbatasan fisik dapat melakukan tindakan tidak senonoh seperti pelecehan seksual? Dan memakan korban cukup banyak?". Agus dapat dengan mudah mempengaruhi semua perempuan yang telah menjadi korban dengan disabilitas yang ia miliki, para korban akan merasa kasihan dengan kekurangan yang agus miliki. Namun, agus buntung juga memiliki tipu daya untuk menipu para korban sehingga berhasil meluluhkan hati korban untuk melakukan aksinya. Agus juga menggunakan cara dengan memanipulatif korban yang salah satunya yakni dengan berpura-pura membutuhkan bantuan sebagai penyandang disabilitas. "Dia memanfaatkan posisi saya yang lemah", ucap salah satu korban agus buntung saat diwawancarai.
Kronologi kejadian kasus ini dimulai pada pertengahan tahun 2024, ketika laporan pertama diterima oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda NTB. Seiring berjalannya waktu, jumlah korban terus bertambah hingga mencapai kurang lebih tiga belas orang pada awal Desember. Pada saat awal viral di media sosial, agus sempat melakukan klarifikasi dengan membuat penyataan menentang tuduhan atas dirinya dan tetap tidak mengakui aksi gilanya bahwa telah ia lakukan dengan berkata ia masih dimandikan, dipakaikan baju, makan masih disuap ibu, dan lain-lain yang tidak memungkinkan untuk ia melakukan pelecehan seksual dengan kondisi disabilitas dari lahir, ia mengaku tidak perlu dikasihani dan hanya perlu didengar dan diperlakukan sama dengan orang lain di luar sana. Video podcast ini tertera pada beberapa akun youtube salah satunya yaitu akun bernama "Tanpa Iklan" dengan panjang durasi 27:22.
Penyelidikan dimulai dari laporan di sebuah homestay, yang merupakan menjadi lokasi beberapa kejadian. Polisi melakukan rekonstruksi dengan memperagakan kurang lebih 49 adegan yang merupakan gambaran dugaan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan Agus. Rekonstruksi yang dilakukan Polda NTB mencakup tiga lokasi utama, yakni Taman Udayana, Islamic Center, dan sebuah homestay di Mataram. Rekonstruksi ini juga menunjukkan adanya perdebatan antara Agus dan korban terkait pembayaran kamar, yang menjadi salah satu pemicu kejadian, diduga agus meminta beberapa perempuan untuk melakukan pembayaran homestay dengan jumlah nominal 50 Ribu Rupiah dengan alasan bahwa ia tidak memiliki uang tunai. Meski Agus mengklaim hubungan tersebut terjadi atas dasar suka sama suka, bukti dan kesaksian korban menunjukkan adanya unsur paksaan.
Kasus ini tidak hanya menyentuh ranah hukum, tetapi juga membangun kesadaran sosial akan pentingnya edukasi dan perlindungan bagi perempuan dan anak. Kasus agus buntung dapat membuktikan bahwa penyandang disabilitas tidak hanya membutuhkan perlindungan, tetapi juga pemahaman bahwa mereka mampu untuk bertindak walaupun aksi gila sekalipun, namun tidak menutup kemungkinan beberapa penyandang disabilitas juga membuktikan bahwa mereka juga bisa melakukan hal positif. Polda NTB telah menetapkan Agus Buntung sebagai tersangka atas kasus ini. Kini Agus juga sudah menjalani proses hukum sejak Senin 9 Desember 2024.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa pelecehan seksual merupakan tindakan serius yang dapat merusak integritas sosial dan memiliki efek yang memberikan pengaruh dan dampak yang luas dan mendalam baik bagi pelaku, korban, keluarga, maupun lingkungan masyarakat. Pelaku mungkin akan mendapat efek jera saat mendapatkan hukuman yang telah ditetapkan di hukum. Korban dan keluarga korban akan mendapat trauma yang mendalam, stigma dari masyarakat, rasa bersalah, dll dalam jangka waktu yang Panjang bahkan dapat sampai seumur hidup. Dan dampak bagi masyarakat salah satunya yakni perubahan norma sosial dan tatanan masyarakat, diskriminasi, dan stigma. Dalam konteks masyarakat mungkin akan cukup berat untuk dihadapi korban dan keluarga, Masyarakat akan menganggap hal tersebut sebagai "aib" bagi korban.
Maka dari itu, kita sebagai remaja harus bertindak dengan bijak. Pencegahan pelecehan seksual sangat kita perlukan, hal ini dapat dilakukan dengan cara adanya kesadaran akan kekerasan dan pelecehan seksual, pendidikan yang tepat, pengetahuan yang luas, adanya peran keluarga dan orang serta lingkungan sekitar yang positif, dan penggunaan media sosial dengan bijak. Dengan itu, kita dapat meminimalisir adanya resiko tindakan pelecehan seksual bahkan dapat mencegah agar tidak akan terjadi. Untuk menyembuhkan trauma pada korban pelecehan seksual diperlukan beberapa hal, diantaranya adalah bantuan psikologis, berada di lingkungan yang mendukung, dan lain-lain.
Dalam upaya penghapusan pelecehan seksual, sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat pengaturan tentang penghapusan kekerasan seksual, salah satunya yakni Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, keberadaan beberapa pengaturan dalam hukum ternyata belum efektif dalam penghapusan kekerasan seksual. Dibuktikan dengan selama ini masih banyaknya kekerasan dan pelecehan seksual yang masih terjadi dan para pelaku yang tidak mendapat hukuman yang setimpal. Kasus pelecehan seksual sering menjadi isu politik karena berkaitan dengan gerakan sosial, seperti hak asasi manusia. Korban pelecehan seksual di dunia politik tidak hanya menghadapi trauma akibat kejadian tersebut tetapi juga stigma sosial. Mereka sering kali dituduh mencari perhatian atau memiliki motif. Kasus pelecehan seksual di dunia politik mengharuskan perlunya reformasi hukum dan kebijakan yang lebih kuat untuk melindungi korban. Undang-undang yang jelas dan pengaduan yang aman diperlukan untuk mendorong korban melapor tanpa rasa takut akan ancaman yang biasanya diberikan oleh pelaku pelecehan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H