Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, disebutkan bahwa bank adalah organisasi yang mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lain untuk membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Bank terdiri dari dua kategori: bank konvensional dan bank syariah. Bank konvensional terdiri dari Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat, dan menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional. Sistem operasi kedua jenis bank ini didasarkan pada prinsip simpan-pinjam, dengan keuntungan penabung didasarkan pada bunga uang yang disimpankan ke bank dan keuntungan bank didasarkan pada bunga uang yang dipinjamkan. Dalam kasus ini, bunga dihitung dengan mengalikan persentase tertentu terhadap uang yang disimpan atau dipinjamkan, tanpa mempertimbangkan hasil usaha dari pengeluaran uang tersebut. Metode ini menganggap hubungan antara bank dan pelanggan hanya sebagai hubungan antara kreditor dan debitur. Karena sifatnya pinjam-meminjam, dana yang diberikan tidak perlu dijelaskan secara khusus untuk tujuan apa pun dan tidak perlu dipantau untuk memastikan bahwa itu digunakan dengan benar. Hal ini memungkinkan pengeluaran di luar yang sudah disepakati.
Selain itu, sistem bank konvensional hanya dapat beroperasi sesuai dengan undang-undang, yang berarti mereka dapat memberikan pinjaman kepada bisnis yang tidak halal tetapi diizinkan secara hukum, seperti bisnis minuman beralkohol yang legal. Oleh karena itu, dewan yang bertanggung jawab untuk mengawasi aspek kesyariahan operasi bank tidak ada di perbankan konvensional sebagaimana di perbankan syariah. Sangat mungkin bagi perbankan konvensional untuk mengalami spread negatif, yaitu tingkat bunga simpanan lebih tinggi daripada tingkat bunga pinjaman, sebagai cara untuk mempertahankan dana nasabah saat krisis ekonomi terjadi, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998.
Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menetapkan bahwa bank syariah diharuskan untuk melakukan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Selain itu, bank syariah juga dapat melakukan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitulmal, yaitu menerima dana dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya (termasuk denda terhadap pelanggan atau ta'zir) dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Dalam beberapa literatur perbankan syariah, bank syariah dengan beragam skema transaksi yang dimiliki dalam skema non-riba memiliki setidaknya empat fungsi, yaitu (1) fungsi manajer investasi; (2) fungsi investor; (3) fungsi sosial; dan (4) fungsi jasa keuangan.
Sistem operasional bank syariah dijabarkan sebagai berikut :
Pertama, sistem operasional bank syariah dimulai dari kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat. Penghimpunan dana dapat dilakukan dengan skema investasi maupun skema titipan. Dalam penghimpunan dana dengan skema investasi dari nasabah pemilik dana (shahibul maal), bank syariah berperan sebagai pengelola dana atau biasa disebut dengan mudharib. Adapun pada penghimpunan dengan skema penitipan, bank syariah berperan sebagai penerima titipan.
Kedua, dana yang diterima oleh bank syariah selanjutnya disalurkan kepada berbagai pihak, antara lain mitra investasi, pengelola investasi, pembeli barang, dan penyewa barang atau jasa yang disediakan oleh bank syariah. Pada saat dana disalurkan dalam bentuk investasi, bank syariah berperan sebagai pemilik dana. Pada saat dana disalurkan dalam kegiatan jual beli, bank syariah berperan sebagai penjual dan pada saat disalurkan dalam kegiatan pengadaan objek sewa, berperan sebagai pemberi sewa.
Ketiga, dari penyaluran dana kepada berbagai pihak, bank syariah selanjutnya menerima pendapatan berupa bagi hasil dari investasi, margin dari jual beli dan fee dari sewa dan berbagai jenis pendapatan yang diperoleh dari instrumen penyaluran dana lain yang dibolehkan.
Keempat, pendapatan yang diterima dari kegiatan penyaluran selanjut dibagikan kepada nasabah pemilik dana atau penitip dana. Penyaluran dana kepada pemilik dana bersifat wajib sesuai dengan porsi bagi hasil yang disepakati. Adapun penyaluran dana kepada nasabah penitip dana bersifat sukarela tanpa ditetapkan di muka sebelumnya dan biasa disebut dengan istilah bonus.
Kelima, selain melaksanakan aktivitas penghimpunan dan penyaluran, bank syariah dalam sistem operasionalnya juga memberikan layanan jasa keuangan seperti jasa ATM, transfer, letter of credit, bank garansi, dan lain sebagainya. Oleh karena jasa tersebut dilakukan tanpa menggunakan dana dari pemilik dana maupun penitip dana, maka pendapatan yang diperoleh dari jasa tersebut dapat dimiliki sepenuhnya oleh bank syariah tanpa harus dibagi.
Dengan demikian, sistem operasional bank syariah dapat disimpulkan terdiri atas sistem penghimpunan, sistem penyaluran dana yang dihimpun, dan sistem penyediaan jasa keuangan. Jika dibandingkan dengan antara sistem operasional bank syariah dengan bank konvensional, perbedaannya terletak pada mekanisme pemerolehan keuntungan pada pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana bank. Mekanisme pemerolehan pendapatan pada bank konvensional menggunakan sistem bunga, yaitu sistem yang menjanjikan pihak yang menyimpan uangnya atau yang menyalurkan dananya dengan persentase tertentu terhadap dana yang disimpan atau disalurkan. Dengan demikian, pemerolehan pendapatan oleh penabung atas uang yang ditabungkan tidak memiliki kaitan dengan pendapatan yang diperoleh bank dari mekanisme penyaluran dananya. Dalam hal ini, nasabah bank konvensional bisa langsung menghitung pendapatan yang akan diterimanya dari bank pada saat ia menyimpan uangnya di bank konvensional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H