Lihat ke Halaman Asli

Bersimpuh

Diperbarui: 12 Juni 2024   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia sudah duduk hampir sembilan jam, menangis-kering-lalu bercerita-menangis kembali-kering- dan tiba-tiba tertawa. Aku melihatnya seperti orang sinting. Tapi, dari jauh sekali-aku mengikutinya yang menangis, kering, menjawab ceritanya, menangis kembali, tetapi aku tidak tertawa-aku tetap menangis.

Sebelum mereka mencabut seluruh alat bantu yang membuatku bisa bernapas-meski buatan dan terasa lebih sesak, ia sudah menangis sampai membasahi separoh kerah bajuku. Entah apa yang sebenarnya ia tangisi? Bukankah juga akan tiba kelak gilirannya, meski aku tidak akan menangisinya seperti yang dilakukannya atau mungkin kita berdua akan menangis di sebuah tempat.

Tangisnya menjadi histeris ketika mereka membawaku ke sebuah ruangan yang gelap dan lebih dingin dari sebelumnya. Aku merasakan sedikit hangat ketika seluruh kain ini menutupi badanku. Bisa kurasakan, aku sendirian-tidak masalah, aku sudah memperkirakan hari seperti ini.  

***

Bagian 1: Ramai 

Orang sibuk sekali, mereka terlihat berkelompok. Aku rasa memang seperti itu kehidupan yang ideal, kita mempunyai teman dan tidak kesepian. Di seberang mejaku, dua orang sahabat sedang berbincang begitu seru-tidak terdengar jelas apa yang dibicarakan tapi terlihat sangat akrab, yang kemudian disusul ber-swa foto dan tertawa lagi.

Di Sudut ruang dekat pintu keluar, sepasang kekasih sedang menikmati makanan yang dihidangkan di atas meja. Sesekali matanya beradu pandang, tertawa, lalu menikmati makanan masing-masing. Di sebelahnya, sekolompok remaja bermain permainan papan, bersorak, mengumpat, tertawa, lalu mengolok lawannya yang kalah-seru.

Segelas teh bunga talangku tinggal separo, sementara pekerjaanku tidak kunjung selesai. Bukan karena aku sibuk melamun mengamati orang-orang di kafe ini, tetapi karena aku memikirkan apakah cerita yang aku tulis akan punya sebuah epilog.

Bagian 2: Sepi 

Akhirnya aku bisa membaringkan tubuh di kasur yang empuk ini. Berinteraksi dengan banyak orang membuatku kehabisan energi. Kenapa mereka bisa terus tertawa sepanjang hari, melakukan banyak kegiatan dengan banyak orang-yang sebetulnya kita pernah tahu apa isi hati mereka; tulus atau hanya berpura-pura, Huffft.... Memang katanya, ketulusan itu akan terasa bahkan jika kita tidak mengungkapnnya langsung. Belum teruji benar agaknya-pasalnya, kemarin siang orang di kantorku sepanjang hari menangis karena tunangannya selingkuh dengan barista di dekat kantornya. Apakah selama mereka menjalin hubungan ketulusan yang dimaksud tidak terasa sama sekali?

Ah-sudahlah, aku hendak membersihkan diri dan kemudian tidur. Aku harus mengisi energi menjadi 100% untuk bertemu orang lain besok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline