Lihat ke Halaman Asli

Genduk

Diperbarui: 16 Agustus 2023   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Urip iku urup, Nduk." Tangannya terasa sangat keriput saat menyentuh setiap helaian rambut di kepalaku. Baunya seperti biasanya, sedikit bau sangit dan minyak yang membaur membuatnya tercium sangat apek. Suaranya terdengar sayup-sayup di telinga-aku di ambang batas sadar dan tidur di pangkuannya. Simbok mulai menembang. Sebetulnya, aku tidak benar-benar mengerti setiap arti lagu yang dinyanyikan simbok. Tetapi, simbok selalu mengatakan-setiap lagu itu mengandung nasehat dan juga saratan doa.

Tak lelo...lelo...lelo...ledung 

Cup menenga aja pijer nangis 

Anakku sing ayu rupane 

Yen nangis ndak ilang ayune

 

Tak gadang bisa urip mulyo 

Dadiyo wanito kang utomo

Ngluhurke asmane wong tuwa

Dadiyo pandekaring bangsa....

Aliran darahku menjalar sangat hangat seiring belaian tangan simbok. Suaranya begitu menggema di gendang telingaku. Seluruh imajinasiku bermain di kepala. Membayangkan aku tengah berada di sebuah taman bunga. Menari-nari mengenakan dress kuning bludru peninggalan simboknya simbok. Simbok bilang, pakaian itu hanya boleh aku kenakan saat menghadiri acara penting dari mandat desa atau simbok akan lebih senang aku memakainya saat nanti ada laki-laki yang akan meminangku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline