Pendidikan merupakan sarana pengembangan kualitas diri baik dalam hal akademik maupun akademik. Semua jenjang usia sudah sepatutnya layak untuk mendapatkan pendidikan yang layak terutama pada jenjang usia produktif. Hal ini selaras dengan UUD Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa "setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".
Namun, semakin maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka semakin banyak tuntutan yang akan diterima untuk memenuhi standar atau kriteria peserta didik. Pada pengimplementasiannya, pendidikan secara tidak langsung membawa kearah 'belajar kemudian bersaing' untuk menyatakan keberhasilan dalam akademik atau prestasi.
Tuntutan dapat hadir dari berbagai arah, salah satu yang paling lumrah dan paling berpengaruh adalah tuntutan yang diberikan orangtua yang bisa dikatakan secara langsung maupun tidak langsung. Tekanan yang diberikan dianggap sebagai bahan acuan anak agar bisa 'membanggakan (membayar jerih payah) orang tua'.
Selain itu, orang tua beranggapan dengan tekanan tersebut maka masa depan anak akan terjamin dalam perihal (persaingang) akademik. Tuntutan akademik yang muncul akan menjadi tekanan pada peserta didik yang menghadirkan masalah psikis seperti mindset dan mental.
Pada mindset atau pemikiran, peserta didik yang sedari kecil sudah biasa mendapat tuntutan akademik oleh orangtuanya biasanya memiliki pemikiran bahwa 'jika mendapatkan hasil belajar atau prestasi yang memuaskan, maka mereka akan disayang. dan sebaliknya 'jika mereka mendapatkan hasil belajar atau prestasi yang buruk, maka mereka tidak akan mendapat kasih sayang (seperti dimarahi, diancam, dll), dan beranggapan bahwa 'orangtua tidak menerima segala bentuk kegagalan yang dialami anak'.
Selain itu, akibat daripada tuntutan tersebut maka peserta didik akan menganggap pendidikan merupakan sebuah beban kehidupan harus dipenuhi dengan hasil yang baik. Pada mental, tekanan yang dialami peserta didik dapat menimbulkan stress yang mana akan mempengaruhi kemampuan berpikirnya.
Sakinatur Rahmawati (2017) dalam jurnalnya mengutip pernyataan Goff (2011) bahwa Peningkatan tingkat stres/tekanan akademik akan menurunkan kemampuan akademik yang berpengaruh pada indeks prestasi. Beban yang dirasa terlalu berat akan memicu gangguan memori, konsentrasi, penurunan kemampuan menyelesaikan masalah dan kemampuan akademik seperti ketidakpercayaan akan kemampuan diri sendiri dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, menjadi pemalu atau enggan untuk bergerak dari zona nyamannya, dan lain sebagainya .
Agmarisa M (2023) juga melakukan penelitian pada responden siswa SMP yang dinyatakan jika mereka mendapat berbagai macam tekanan yang diberikan orangtua (mulai dari yang ringan sampai yang berat) terkait nilai akademik di sekolah. Tekanan yang diberikan oleh orangtua tidak diimbangi dengan dukungan kepada anak.
Namun disisi lain, derita stress yang dialami peserta didik terkadang juga memberi dampak positif karena beberapa peserta didik akan terbangun atau memiliki acuan semangat untuk terus belajar tetapi akan muncul sikap perfeksionis (selalu ingin menjadi yang paling unggul) pada peserta didik.
Tuntutan akademik memungkinkan anak berbuat kecurangan demi mendapatkan hasil yang memuaskan sesuai dengan yang diinginkan orangtua (Sarita, 2015).
Berdasarkan penelitian Muhsin E, (2018) menyatakan bahwa kebanyakan mahasiswa melakukan kecurangan seperti menyontek dan plagiasi dibawah tekanan orang tua. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Luthfi Lusiane (2018), para pelajar yang memiliki tuntutan orangtua untuk mendapat nilai yang tinggi dan sikap perfeksionis berhubungan secara signifikan dengan kecurangan akademik.