"Neg durung mangan sego, rasa ne koyo durung mangan. Padahal, mau wis gawe mie instan" (Kalau belum makan nasi, rasanya seperti belum makan. Padahal tadi sudah bikin mie instan)
Begitulah kira-kira jawaban yang pernah saya dengar dari orang tua, adik, tetangga, teman bahkan orang-orang posting di media sosial. Nasi masih menjadi sumber karbohidrat utama ketika makan. Tanpa nasi, beberapa orang merasa belum makan.
Bahkan ada sebuah postingan video lucu dari warganet ketika membeli Pizza, ia memakannya bersama sepiring nasi. Pas saya lihat, pikiran hanya berkata, "Hello Kak, itu karbo semua, lho!"
Namun kemudian, saya juga sadar. Orang Indonesia makan kadang lebih mengutamakan kenyang daripada volume gizi yang seimbang. Tapi, apapun itu, saya juga gak bisa menyalahkan. Soalnya saya juga kadang makan mie dicampur nasi. Sama gak tuh!
Berbicara soal beras sebagai sumber karbohidrat, akhir-akhir ini cukup membuat pusing kepala. Bagaimana tidak, harga beras merangkak naik dari yg semula Rp 11.000-12.000 menjadi Rp 15.000-16.000. Itu masih kualitas standar belum premium.
Di berbagai warung kelontong maupun minimarket, keberadaan beras cukup langka. Momennya hampir mirip ketika minyak goreng langka. Mungkin ini terjadi karena panic buying. Takut kehabisan bahan karbohidrat untuk makan.
Sebenarnya, apa yang membuat beras harganya merangkak naik?
Saya membaca artikel dari Okezone.com dan menemukan ada 4 faktor yang membuat harga beras naik sehingga menimbulkan kelangkaan.
Pertama. Fluktuasi harga pangan
Harga beras maupun kebutuhan pokok lain bergantung pada fluktuasi harga pangan dunia. Ketidakstabilan akibat gagal panen dan perubahan iklim juga membuat pasokan kian menipis.
"Harga beras di seluruh negara di dunia itu sekarang naik, tidak hanya di Indonesia saja. Di semua negara harganya naik. Kenapa naik? Karena ada yang namanya perubahan iklim, perubahan cuaca sehingga banyak yang gagal panen" Kata Presiden Jokowi.