Diduga Tabrakan Diri Ke Kereta, Mahasiswi Asal Semarang Tewas Ketabrak KA di Sragi. Korban yang terlindas kereta api di KM 99+7 pada Minggu (26/11/2023) sekira pukul 20.30 wib. (Sumber : Pekalongan Berita)
Kasus bunuh diri di atas merupakan satu dari sederet kasus yang kerap saya baca beritanya beberapa waktu belakangan. Ada apa sebenarnya?
Sebelumnya, saya membahas ini bukan sebagai psikolog atau orang yang ahli dalam kejiwaan. Saya akan membahasnya sebagai masyarakat biasa yang merasa heran terhadap fenomena bunuh diri yang beberapa waktu ini kerap terjadi.
Sedih rasanya membayangkan bila berada di posisi mereka yang memiliki masalah. Seakan ada mental health yang terkikis oleh rasa sedih tak berkesudahan.
Sebagai manusia biasa, saya paham bahwa ada waktunya manusia mengalami jatuh. Pada masa-masa itu, manusia membutuhkan dukungan dan bantuan dari orang lain seperti keluarga atau sahabat.
Hanya saja, tak semua orang beruntung memiliki keluarga atau sahabat yang peduli. Jika sudah demikian, maka dia hanya bisa mengandalkan kekuatan diri sendiri.
"Eh, kalau depresi itu sebenarnya karena lemah iman lho, karena gak dekat dengan Tuhan sehingga mikirnya engga-engga"
Hayoo, siapa yang sering dapat atau baca kalimat semacam ini bila menemukan berita kasus bunuh diri di media massa atau media sosial? Kalau pernah tahu, cung!
Bunuh diri terjadi karena banyak faktor. Beberapa pakar mengatakan bahwa bunuh diri sering kali dilakukan akibat putus asa, yang penyebabnya sering kali dikaitkan dengan gangguan jiwa misalnya depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, ketergantungan alkohol, atau penyalahgunaan obat.
Salah satu korban bunuh diri yang terjadi di Sragi tersebut ditengarai memiliki depresi yang membuat ia nekat menabrakkan diri ke kereta api.