Lihat ke Halaman Asli

Mutiara Margaretha Yaletha

makhluk hidup yang menempati sepetak tanah

UKT Melejit, Orang tua Menjerit

Diperbarui: 13 Agustus 2024   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi pribadi diolah melalui Canva

Ada kejutan di awal tahun ajaran baru, apa lagi kalau bukan naiknya UKT alias Uang Kuliah Tunggal per semester di sebagian besar perguruan tinggi negeri (PTN). UKT adalah sistem pembayaran kuliah yang diterapkan oleh banyak perguruan tinggi di Indonesia. Sistem ini menetapkan satu jumlah pembayaran tetap yang harus dibayar mahasiswa setiap semester. 

UKT diadakan untuk menyederhanakan biaya pendidikan dengan menggabungkan berbagai biaya menjadi satu, sehingga mahasiswa tidak perlu membayar biaya lainnya. Kenaikan UKT untuk mahasiswa baru memang dapat dikatakan tidak wajar. Kenaikannya mencapai 50 persen dibandingkan tahun ajaran sebelumnya. Contohnya di Unsoed, UKT untuk mahasiswa baru angkatan 2024. Program studi keperawatan kelas internasional di sana UKT tertinggi Rp52 juta, naik hampir lima kali lipat dari sebelumnya Rp9 juta.

Perguruan tinggi mungkin menaikkan UKT untuk meningkatkan kualitas pendidikan, misalnya dengan memperbarui fasilitas, memperluas program studi, atau meningkatkan kualifikasi pengajar. Selain itu, beberapa kebijakan pemerintah yang mengatur dana pendidikan atau subsidi bagi perguruan tinggi bisa mempengaruhi struktur biaya dan menyebabkan kenaikan UKT. Tetapi jika kita mengingat kembali salah satu klausul yang tertera dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) maka yang berlaku saat ini sudah tak mengherankan lagi. Pendidikan yang merupakan kebutuhan esensi terkait kualitas generasi dan masa depan bangsa nyatanya dipandang tak lebih dari salah satu komoditas yang siap diperdagangkan.

Pengesahan Omnibus Law dapat dikatakan sebagai ucapan selamat datang kepada komersialisasi pendidikan. Karena dalam UU tersebut antara lain memuat perihal perizinan bagi para pemilik modal yang ingin berkiprah mengembangkan usahanya di dunia pendidikan. Hampir sebagian besar masyarakat, khususnya orang tua dan pengamat pendidikan mengajukan peninjauan kembali UKT. 

Namun, hingga kini belum membuahkan hasil. Beberapa mahasiswa bahkan terpaksa mencari beasiswa, pinjaman, bahkan menjual barang berharga. Semua demi bisa membayar UKT. Permasalahan biaya kuliah seharusnya dapat diatasi pemerintah. Pelibatan mahasiswa dalam konteks pembayaran UKT menggunakan pinjol dinilai berbahaya karena akan memunculkan penyimpangan. Meski sudah dibuat kebijakan peminjaman hanya untuk biaya kuliah, nanti akan banyak penyimpangan karena berpotensi dipakai untuk hal lain.

Penyimpangan terutama pada pengguna itu sendiri karena tidak ada yang mengontrol dan mengawasi. Peminjaman atas nama uang kuliah tapi digunakan untuk hal lain seperti foya-foya atau kesenangan pribadi. Selain itu, beban meminjam uang di pinjol juga akan menyusahkan orang tua ketika anaknya tidak bisa membayar tagihan. Apalagi saat orang tua tidak mampu berpotensi menjual barang demi bayar pinjaman anaknya.

            Kenaikan UKT dapat mempengaruhi keterjangkauan pendidikan tinggi bagi mahasiswa, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga dengan pendapatan rendah. Ini bisa berdampak pada penurunan aksesibilitas pendidikan. Mahasiswa yang tidak mampu membayar kenaikan UKT mungkin memutuskan untuk menghentikan studi mereka, yang dapat meningkatkan tingkat drop-out dan mengurangi jumlah lulusan. Karena kenaikan UKT dapat menambah beban finansial mahasiswa dan keluarga mereka, yang dapat berdampak pada kesejahteraan dan performa akademik mahasiswa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline