[caption id="attachment_82341" align="alignleft" width="400" caption="Courtesy of: Wahana Komunikasi Rakyat"][/caption]
Selasa malam (28/12) saya tertarik untuk menonton salah satu siaran di Trans 7. Judul siaran TV yang ditayangkan malam itu adalah Hitam Putih, dibawakan oleh Master Mentalist Dedy Corbuzer yang mendatangkan bintang tamu si pesulap cilik “Cinta” dan ayahnya “Uya”. Acaranya dipenuhi oleh trik-trik sulap Cinta cs dan wawancara bersama Uya yang sangat mendukung bakat sulap anaknya.
Pada akhir acara Dedy Corbuzer menceritakan sebuah kisah :
Suatu hari seorang ibu datang ke sebuah sekolah untuk menghadiri acara penerimaan raport anaknya. Saat sang ibu membuka raport anaknya, sang ibu mendapati bahwa anaknya memperoleh nilai yang jelek untuk pelajaran matematika, namun disisi lain anaknya mendapatkan nilai yang maksimal untuk pelajaran kesenian karena anaknya sangat pintar menggambar. Lalu apakah yang dilakukan sang ibu pada kesempatan berikutnya? Dedy Corbuzer menyatakan bahwa 90 % kaum ibu akan mewajibkan anaknya untuk mengikuti les matematika. Pertanyaannya adalah, mengapa sebagian besar orangtua membesarkan anaknya sesuai dengan apa yang mereka inginkan, bukan sesuai dengan hobi dan bakat anaknya? Mengapa tidak keluar pilihan bahwa akan jauh lebih baik jika si anak dimasukkan ke dalam les menggambar/ melukis sehingga hobinya akan tersalurkan, bahkan jika mungkin anaknya kelak akan menjadi seorang pelukis yang profesional?
Ada pesan tersirat yang tersampaikan dari contoh kasus di atas, yaitu prestasi dan kemampuan seseorang tidak cukup hanya dilihat secara kasat mata dengan batasan-batasan nilai dan angka, misalnya syarat seseorang diterima bekerja pada sebuah perusahaan adalah IPK minimal 2,75. Saya pernah membaca beberapa tanggapan orang pada sebuah situs online favorit (kaskus.red) atas pertanyaan “Apakah orang yang IPK nya di bawah 2,75 tidak bisa bekerja?”. Berikut adalah beberapa tanggapan yang masuk :
Zaman sekarang mah yang penting skill dan IPK yang ada di ijazah (user id: 733***).
Cuma industri kreatif yang gak perlu pake syarat IPK. Nilai IPK 4,00 pun tidak akan berpengaruh kalo anda tidak kreatif. Hari gini? Spontanitas dan konseptual yang dicari, bukan hasil IPK. Sejauh ini, crew tempat saya bekerja memiliki kemampuan dan kreativitas jauh melebihi angka IPK mereka yang minim. Kualitas kerja mereka? saya kasih nilai 4 jempol (user id: 649***).
Pantas saja Indonesia sulit untuk maju jika orang-orang masih mikir syarat keberhasilan yang utama adalah IPK. Bagi saya, kualitas seorang manusia tidak cukup diukur dari indeks intelektualnya saja, banyak faktor yang bisa membuat seseorang sukses. Ini yang saya amati dari orang-orang di luar sana (Eropa, Jepang, Amerika, dll). Otak orang-orang Indonesia tidak kalah dengan otak-otak orang luar negeri, akan tetapi mengapa orang-orang di luar negeri bisa lebih maju? Karena mereka sadar akan pentingnya kecerdasan emosional, pentingnya disiplin, dan sadar bahwa sukses itu butuh kerja keras, egaliter yang kuat, kemampuan mengambil resiko, dan mereka menghargai sekali yang namanya kreativitas. Bagi saya (walaupun IPK saya > 2,75), meskipun syarat untuk bekerja adalah IPK 2,75 ke atas atau 3,00, ini hanya merupakan bentuk perbudakan sistem yang jika terus kita ikuti maka kondisi Indonesia akan begini terus, jika ingin lebih maju maka kita harus mempunyai kualitas secara keseluruhan (user id: 1345***).
Kalo kata dosen saya IPK adalah syarat dasar, ibaratnya anda kuliah dan lulus dengan IPK 2,75 dari skala 4,00 itu artinya anda mempunyai pengetahuan teori sekitar 70%. Nah, selebihnya kan masih banyak tes-tes masuk kerja yang lain dan belum tentu orang yang IPKnya 4,00 lulus tes tersebut. Kalo dipikir-pikir sama seperti kita mau masuk kuliah, syaratnya kan harus lulus SMA dengan NEM/ NUAN sekian, lalu jika syarat tersebut sudah terpenuhi masih ada tes masuk berikutnya. Jika seseorang memiliki skill yang sudah kelihatan dari awal, tanpa IPK pun dia bisa mendapatkan kerja, apalagi jika ingin menjadi enterpreneur, itu tidak perlu IPK, cukup berani menjalankannya + rezeki dari Tuhan + doa, itu sudah cukup (user id: 5467**).
IPK di bawah 2,75 tetap bisa bekerja kok, contohnya saya. Tapi saya akui, banyak sekali kesempatan yang lebih baik menjadi hilang karena IPK tersebut. Walaupun sudah punya skill yang baik dan background perusahaan yang baik, tetapi kesempatan yang terbuka sedikit sekali. IPK tersebut digunakan sbagai syarat administrasi pertama sekali untuk membatasi jumlah pelamar, dan sudah saya lihat beberapa sudah menaikkan batasannya, yg dulu > 3 sekarang harus IPK > 3.25. Saran saya, usahakan IPK baik agar kesempatan lebih banyak juga (user id: 85***).
[caption id="attachment_82339" align="alignleft" width="347" caption="Courtesy of: Rahmad Sosiawan"]
[/caption]
Saya tiada maksud untuk menyalahkan paradigma pendidikan tinggi di Indonesia, apalagi alih-alih memprotes seluruh lapangan pekerjaan di Indonesia yang mewajibkan batas IPK 2,75 sebagai limit terendah seorang sarjana dapat diterima pada sebuah pekerjaan. Berawal dari banyak kenyataan lulusan sarjana di luar sana yang kurang beruntung sehingga mendapatkan IPK under 2,75. Kebanyakan solusi yang datang adalah menyarankan mereka untuk menyambung pendidikan S2 dan kelak menggunakan ijazah Masternya tersebut untuk melamar pekerjaan. Apakah menurut anda hal tersebut adalah sebuah solusi? Berjuta sarjana yang menjadi pengangguran di luar sana harus memperoleh nasib yang sama dengan orang yang hanya tamatan SMA atau SMK. Jadi dimana nilai plusnya seorang sarjana yang sudah menghabiskan kuliah bertahun-tahun dan setingkat lebih maju?
Tulisan ini tidak membenarkan atau menyalahkan pendapat manapun. Saya hanya mencoba memunculkan masalah yang mungkin masing-masing kompasianer mempunyai jawaban dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Setidaknya saling memberi motivasi dan sharing pengalaman setelah kondisi yang kita temui adalah nasi sudah menjadi bubur, nah… bagaimana caranya membuat bubur tersebut tetap enak dan disukai semua orang? gelar sarjana sudah di tangan namun terbentur dimasalah IPK. Pendapat saya pribadi mengenai IPK : IPK? It’s just a number, yang penting work ethic and hard work.
Tuhan menciptakan manusia dengan kemampuan yang tidak terukur sehingga dibutuhkan kerja keras dan tawakal untuk mencapai keberhasilan, bahkan dalam firmanNya dalam surat Al-Qashash 77 Allah mengatakan, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”. Allah memberkati manusia yang selalu bekerja keras dan bersungguh-sungguh untuk mencapai keberhasilan dan prestasi. Firman Allah dalam QS. Ar-Ra’du 11, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kamu sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H