23-24 Oktober 2010. Ceritanya sudah sedikit expired, namun kenangannya masih erat melekat di ingatan saya. Seminggu sebelumnya saya dihubungi oleh Dosen saya yang mengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE) (Ibu Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si), beliau mengajak saya untuk menghabiskan weekend akhir Oktober ini di Kampung Sukagalih. Saya langsung bertanya apakah yang menarik dari kampung itu? Beliau mengatakan bahwa Kampung Sukagalih adalah salah satu kampung konservasi binaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Jika ingin merasakan nuansa alami khas pegunungan Jawa Barat, maka Desa Sukagalih layak menjadi alternatif pilihan lokasi yang harus dikunjungi.
Sayapun menerima tawaran tersebut, bersama sebelas orang rekan lainnya (Arman, Wani, Nina, Jadda, Bebbye, Yunus, Bayu, Chepy, Aisyah, Cahya, dan Adam) saya mendaftarkan diri menjadi salah satu asisten pendamping. Yups, tujuan utama kunjungan ke Kampung Sukagalih adalah dalam rangka praktek mahasiswa KSHE untuk mata kuliah Interpretasi Alam, yaitu penyusunan rencana dan program interpretasi wisata di Kampung Sukagalih. Wah, ini baru berlaku pepatah sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, berwisata sekaligus mengamalkan ilmu yang pernah saya dapatkan di bangku kuliah dulu. Pukul 06.00 WIB sekitar 90 orang mahasiswa sudah berkumpul di pelataran BNI Kampus IPB Darmaga. Sudah menjadi ciri khas mahasiswa konservasi IPB, bepergian dengan menggunakan truk. Ya! Anda pasti tidak menyangka bahwa 8 dari 10 kali praktikum lapang selama saya menjadi mahasiswa selalu menggunakan kendaraan truk. Rasanya lebih adventuring, AC gratis dari alam, dan pandangan lepas terutama saat menikmati nuansa alam sekitar.
Hai perwira rimba raya, mari kita bernyanyi
Memuji hutan rimba dengan lagu yang gembira, dan nyanyian yang murni
Meski sepi hidup kita jauh di tengah rimba
Tapi kita gembira sebabnya kita bekerja untuk nusa dan bangsa
Rimba raya, rimba raya, indah permai dan mulia
Maha taman tempat kita bekerja
Begitulah sekilas petikan Mars Rimbawan yang mengiringi awal langkah kami, lamanya perjalanan yang akan ditempuh mencapai 7 jam. Dari kampus IPB Darmaga, truk yang kami tumpangi menuju ke arah Ciawi/ Cipaku melewati jalan raya Sukabumi, setelah itu ke arah Parakan Salak lalu belok kanan menuju Kabandungan (mengikuti penunjuk arah ke Chevron). Nah, kurang lebih setelah 4 jam perjalanan kami sampai di kantor pengelola TNGHS, setelah menyampaikan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) kemudian perjalanan dilanjutkan ke arah Cikaniki dimana sebelum jembatannya belok ke kanan. Bagi seorang pemula dipastikan sudah pingsan dengan kondisi 7 jam dalam perjalanan menggunakan truk, 2 jam terakhir harus melewati jalur ekstrim, medan yang dihadapi adalah perbukitan, jalanan berbatu dan licin, hingga titian jembatan besi kayu yang dibawahnya mengalir deras aliran sungai dipenuhi bebatuan besar, sungguh memicu degup jantung dan adrenalin.
Pukul 13.00 WIB kami telah sampai di kaki bukit menuju Kampung Sukagalih yang terletak di sisi timur TNGHS. Perjalanan dilanjutkan dengan ± 25 menit berjalan kaki menuju lokasi perumahan penduduk, rintik hujan langsung menyambut kedatangan kami. Suasana sedikit kelabu, karena tiba-tiba salah seorang rekan saya yang bernama Yunus mengabarkan bahwa dompetnya hilang, sepertinya tercecer diperjalanan. Selang beberapa lama setelah sampai di bale-bale desa, kami langsung disuguhi hidangan singkong rebus yang masih panas, makan siang berupa nasi dengan lauk ikan asin, dadar telur, sayur timun plus sambal. Mmmm, benar-benar kental dengan nuansa tradisional.
Kampung Sukagalih secara administratif termasuk ke dalam wilayah Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Selama 2 hari tersebut kami ‘mondok’ di rumah salah seorang warga. Inilah uniknya kunjungan wisata ke Sukagalih, tidak ada penginapan khusus, melainkan pengunjung langsung diajak berinteraksi dengan masyarakat melalui kegiatan menginap di rumah warga.
Pemandangan indah di Sukagalih berupa hamparan permadani sawah dan barisan pohon menghijau secara spontan memberi kesan alami daerah Jawa Barat, angin lembut sambung menyambungberhembus menyejukkan kulit meski matahari bersinar garang, riuh air sungai yang menghantam bebatuan kali ikut menambah nilai plus kampung, yang tidak kalah menariknya adalah tata letak rumah-rumah penduduk yang mencerminkan kehidupan konservasi. Setiap rumah memiliki tempat sampah untuk jenis sampah yang berbeda (sampah organik dan an-organik), rumah warga hampir seluruhnya dihiasi dengan aneka jenis tanaman, mulai dari tanaman bunga, tanaman buah hingga tanaman obat keluarga, beberapa diantaranya memiliki kolam ikan/ balong. Masyarakatnya juga terbagi ke dalam kelompok-kelompok kerja, diantaranya kelompok kematian (yang mengurusi pemakaman warga), kelompok pengajian (diisi oleh kelompok ibu-ibu), kelompok olahraga dan pemuda, dan masih banyak lagi. Ya, jika anda menyempatkan diri kesana maka dapat disaksikan betapa rukun dan teraturnya kehidupan masyarakat, betapa luhurnya mereka bersahabat dengan alam, betapa ramahnya sambutan terhadap tamu yang datang. Bahkan rekan saya kembali mendapatkan dompetnya yang hilang. Dompet tersebut ditemukan oleh Pak Odang, salah seorang warga. Kejujuran Pak Odang menjadi cerminan kebaikan penduduk Sukagalih.
Kampung Sukagalih telah berdiri semenjak 1960an. Kawasan ini termasuk enclave yang menghubungkan antara wilayah Gunung Halimun dengan Gunung Salak. Banyak site-site unik yang potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi wisata, diantaranya areal camping ground, hutan tanaman damar, hutan bambu, daerah riparian/ sepanjang sungai (Sungai Cimelati, dll), agrowisata (padi, cabai, tomat, sayuran, kopi, pisang, dll), area tanaman obat, area birdwatching, area pengamatan mamalia primata (surili dan kera), lokasi wisata herpetofauna, hingga lokasi wisata ziarah. Akses jalan yang cukup ekstrim disatu sisi menjadi kendala bagi pengunjung dalam pencapaian kawasan, namun disisi lain area seperti ini sangat disukai sebagai track off road bagi sebagian kecil pecinta wisata minat khusus. Terbukti sekembalinya dari Sukagalih, saya menemukan sekelompok bikers motor dan saya juga berpapasan dengan sederetan mobil-mobil off road.
Pengembangan Kampung Sukagalih sebagai kampung wisata mendapat dukungan penuh dari pihak taman nasional, bahkan pada tahun 2008 Kampung Sukagalih memenangkan perlombaan Desa Mandiri se-Jawa Barat. Masyarakat Sukagalih juga ikut andil dalam pelestarian kawasan TNGHS, mereka membentuk Kelompok Pelestari Alam (KOPEL), diwujudkan dalam beberapa kegiatan rehabilitasi hutan yang bekerjasama dengan pihak TNGHS dan lembaga non pemerintah seperti LSM/ NGO. Dalam rangka pengembangan masyarakat (community development) Sukagalih, Pemerintah Daerah Jawa Barat beberapa kali pernah memberikan bantuan, diantaranya bantuan berupa hewan ternak sapi, kambing, dan kelinci, serta saluran air mikrohidro yang dikelola secara gotongroyong oleh warga.
Dari sisi kehidupan bermasyarakat, Kampung Sukagalih memiliki kebiasaan yang unik, yang dikenal dengan sebutan arisan tenaga, dimana seluruh warga akan membantu pekerjaan berat warga lainnya. Misalnya, seorang warga mempunyai beberapa petak sawah yang akan diolah dan ditanami padi, maka seluruh warga akan saling bekerja sama untuk membajak, menanam, hingga memanen sawah warga yang membutuhkan bantuan tersebut. Demikian juga dalam pendirian bangunan rumah, warga tidak perlu membayar kuli atau tukang bangunan untuk menyelesaikan huniannya, seluruh warga Sukagalih akan bergotongroyong membantu, sebagai syaratnya adalah warga yang dibantu mempunyai hutang (berkewajiban) membantu pekerjaan orang yang sudah membantunya, saat dibutuhkan. Wah, unik bukan?
*) all photoes by : Mietra Ayu Dhistira
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H