Lihat ke Halaman Asli

Mutiara-mutiara #7: Dalam Ruang Hampa

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Cerita sebelumnya:

Mutiara-Mutiara #1:  Pertengkaran

Mutiara-Mutiara #2:  Pertunangan

Mutiara-Mutiara #3: Desing Sunyi

Mutiara-Mutiara #4: Nyanyian Ombak

Mutiara-Mutiara #5: Cincin Pengikat

Mutiara-Mutiara #6: Biarkan Aku Pergi

Enam bulan bukan waktu yang sebentar untuk berpisah. Sesungguhnya tak sedetikpun bayangan Faiz sirna dari hatinya. Ia sadar takkan mudah melupakan rasa yang telah menggurita di hatinya. Takkan secepat itu. Ia hanya berharap setidaknya ia bisa mengendalikannya. Meletakkannya di sebuah ruang khusus di hatinya untuk tak ia buka lagi nantinya dan memberikannya label bernama kenangan.

Ia berharap kesibukannya mengikuti kursus membuat pikirannya teralihkan. Ia juga tak mau menyia-nyiakan kesempatannya belajar di negara yang sangat ia sukai dan impikan. Namun kenyataannya, tak banyak teman yang ia dapatkan di sana karena lebih suka berkelana pada dunia miliknya, menikmati sakura bertaburan, atau salju yang menghampar putih sejauh mata memandang. Persis seperti sebuah tempat dalam dunia yang hanya ia dan Faiz yang bisa melihatnya. Saat seperti itulah ia selalu teringat Faiz.

Fadia, sahabatnya selalu berkomentar lewat email-emailnya ketika tahu Ara tak banyak membuka diri mencari persahabatan di sana.

”Kau kan sudah lama memimpikannya, Ara. Pake dong kesempatan untuk mencari teman diseluruh benua. Eh, jujur deh, Ra. Ada apa sebenarnya kamu tiba-tiba ikut kursus ini. Kayaknya kamu nggak pernah cerita sama sekali pengen pergi,” tulis Fadia.

“Nggak ada apa-apa, Fad.”

“Bukan karena Faiz kan?”

Ara tercekat.

“Soalnya sekarang Faiz jadi pendiam sejak kamu pergi. Ada apa diantara kalian? Apakah Faiz telah menyakitimu?”

“Tidak. Ia terlalu baik malah. Aku hanya sedang berusaha mengendalikan diriku untuk tak makin terjerumus dalam kebahagiaan semu.”

“Aku turut sedih, Ra. Tapi aku berharap kau bisa menemukan pengganti Faiz secepatnya.”

‘Takkan pernah. Aku telah terikat dengannya selamanya sejak hari itu,’ batin Ara.

Tiba-tiba, bagai buih yang menggulung gelisahnya, Ara tak sanggup menahan kerinduan yang senantiasa menyesakkan. Ia menangis tersedu.

Hey, what happen, Ara?” Cecil, teman sekamar Ara yang berasal dari Malaysia, kaget melihat Ara tiba-tiba menangis.

I’m okay. Just wanna cry. Let me alone, pleease....!”

Okay. Let me know if you need something.” Cecilia teman yang sangat baik. Dari 30 orang peserta kursus, ia teman yang paling enak diajak ngobrol dan kebetulan sekamar dengan Ara. Sayang sekali Ara sering kali lebih suka menikmati kesendiriannya, merindukan Faiz.

Thanks.” Ara kembali menitikkan air matanya. Aku tak seharusnya begini. Aku harus melupakannya. Setelah merenung beberapa lama, akhirnya ia mendekati Cecil.

“Cecil!”

Hey, finish your tears?”

Ara tersenyum malu.

“Aku ingin jalan-jalan. Kamu bisa kasih ide kira-kira kemana yang seru?”

“Ah, akhirnya. Kau perlu aku temani?”

“Kalau kau tak keberatan.”

“Kau itu sebenarnya cantik. Tapi jarang tersenyum.”

“Bagaimana kalau besok? Kita pergi ke Tokyo Bay Aqua line. Kau pasti suka. Nanti kita makan-makan di pulau buatan trus mampir ke Train and BusMuseum.”

“Boleh juga. Aku sempat dengar teman-teman membicarakannya. Katanya seru.”

“Aku akan membuatmu tertawa lagi, Nona.”

“Makasih, Cil.”

“Eh, who is he?”

What?”

“Kamu menangis pasti karena cowok. Apa dia yang memberimu cincin indah itu?” kata Cecilia seraya melirik cincin di jari manis Ara.

Ara tersipu.

Okay, darling. Forget him. Just you and me, deal?”

Ara mengangguk terharu. Meskipun sering tak diperhatikan, Cecilia sesungguhnya seorang sahabat yang baik. Mungkin karena berasal dari satu rumpun, mereka tak mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri.

***

Are you ready, girl?”

“Siap!” kata Ara sambil menghormat. Cecilia tertawa.

Come on, kita lupakan lara, mari senang-senang.”

Mereka menyewa mobil. Hari itu, cuaca cerah. Tokyo Bay Aqua Line yang menghubungkan kota Kawasaki dan Kisarazu menjadi lebih indah untuk dinikmati. Setelah masuk tol dan melewati Rainbow Brigdes, mereka mulai memasuki terowongan sepanjang 9,6 km yang berada dibawah laut. Sepanjang jalan jadi seperti melihat aquarium raksasa sampai diujung terowongan, mereka muncul di sebuah tempat peristirahatan berupa pulau buatan yang diberi nama Umi-hatoru. Di sana terdapat tempat parkir kendaraan yang luas, rapi dan bersih, serta terdapat banyak toko, restoran dan tempat bermain layaknya sebuah pusat perbelanjaan.
Ara dan Cecil menyempatkan untuk berbelanja dan makan di restoran sambil menikmati pemandangan yang menakjubkan. Ara membayangkan, apakah jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura juga seeksotis ini meskipun tak ada pulau buatan disana. Mungkin sangat jauh jika dibandingkan karena pembangunan terowongan dan pulau ini membutuhkan waktu kurang lebih 31 tahun sementara Suramadu tak lebih dari 10 tahun sudah termasuk pencarian dana yang cukup panjang selama bertahun-tahun.

Setelah puas berbelanja dan melihat-lihat, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sisa terowongan sepanjang 4,4 km menuju ke kota Kawasaki. Disana mereka melihat museum bus dan kereta api. Ara sangat antusias melihat sejarah perkeretaapian di Jepang. Ujung-ujungnya Ara jadi gemas jika teringat perkeretaapian di negaranya. Indonesia sudah mengenal kereta listrik sejak tahun 1976 bahkan jauh lebih dulu dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang memakai kereta api pada era 1980-an, tetapi perkembangan mereka saat ini melampaui Indonesia. Meskipun jarang menggunakan KRL, Ara sering membaca berita kalau kereta yang ada sekarangada yang sudah mencapai usia 33 tahun. Padahal usia efektif KRL adalah 25 tahun. Begitu juga dengan kereta-kereta hibah atau beli murah dari Jepang di awal 1990-an yang sudah melebihi usia efektif dan tidak layak pakai. Akhirnya seringkali terjadi gangguan akibat ada kereta mogok.

“Gimana, Ara? Kau senang?” tanya Cecil saat mereka keluar dari Museum.

“Thanks, Cil sudah mengajakku jalan-jalan. Pikiranku jadi sedikit terbuka. Tidak hanya memikirkan masalahku sendiri karena ternyata masih banyak masalah yang dihadapi dinegaraku. Rasanya, daripada aku terus-menerus bersedih, aku bisa berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk masyarakat di kampung halamanku.”

“Syukurlah. Kalau lelaki, kau pasti tak tahu kalau di kelas kita ada cowok cakep dan berotak brilian,” goda Cecilia sambil mengedipkan mata ke arah Ara. Ara mencubitnya sampai dia berteriak ampun.

“Tampan, sih tampan. Kalau sudah ada yang punya ya buat apa,” jawab Ara asal.

“Hei! Jadi itu masalahmu di sana?” Ara bersemu merah.

“Kalaulah begitu, tak usah kau pikir lagi. Mari kita cari bersama lelaki pujaan kita.”

Ara tertawa geli mendengar penuturan Cecilia. Mungkin malah menertawakan dirinya sendiri yang bodoh, tak bisa melupakan Faiz yang sudah jelas milik orang lain.

“So, mau kemana lagi kita sekarang?” tanya Ara.

“Bagaimana kalau ke Yumemigasaki Zoological Park, lalu kita pulang. Besok masih ada tugas menunggu kita.”

Ara mengangguk setuju.

Seharian itu, Ara benar-benar lupa dengan kerinduannya pada Faiz. Senyum dan tawa cerianya tak lepas mewarnai perjalanannya.

***

Setelah perjalanan liburannya bersama Cecilia, Ara mulai lebih fokus pada kursusnya. Sesekali di saat senggang, ia menjelajahi kota atau berlibur bersama Cecilia lagi ke tempat-tempat wisata lainnya. Ia benar-benar memanfaatkan waktu untuk menjelajahi wilayah Jepang sebanyak mungkin agar ia semakin paham dengan negara yang sejak ia masih sekolah telah menjadi tempat impiannya untuk dikunjungi.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline