Masa Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) merupakan masa kritis bagi mahasiswa baru untuk diperkenalkan dengan lingkungan akademik dan sosial barunya yang senantiasa menjadi waktu yang dinanti-nanti sekaligus ditakuti oleh banyak mahasiswa baru di berbagai kampus perguruan tinggi di Indonesia.
Sebagai jalannya masuk ke dunia perkuliahan, OSPEK diharapkan mampu memperkenalkan mahasiswa baru kepada lingkungan akademis, sistem pendidikan, serta memperkenalkan bagaimana budaya kampus kepada mahasiswa baru.
Namun, di balik niat baik tersebut, OSPEK sering kali berfungsi sebagai panggung penguasaan yang tidak terlihat, dimana lingkungan yang mampu menciptakan atmosfer hirarkis antara siswa senior dan junior yang dapat mempengaruhi seluruh periode pembelajaran mahasiswa di Universitas.
Pada masa OSPEK, sering kali terjadi praktik-praktik yang lebih menonjolkan otoritas dan kekuasaan ketimbang tujuan utama untuk memberikan pembinaan selama OSPEK berlangsung.
Ritus yang dilaksanakan secara generasi ke generasi, seperti penugasan yang tidak masuk akal, instruksi tanpa penjelasan yang jelas, hingga dengan ancaman atau intimidasi yang tersembunyi seolah menjadi elemen yang tidak terpisahkan dari OSPEK.
Tradisi ini berakar dari pemahaman tentang kekuasaan yang sering kali dianggap normal budaya kita, seakan-akan senior memiliki hak istimewa untuk “mengatur” juniornya dengan alasan pembentukan mental atau pengenalan karakter. Dalam situasi ini, konsep “penghormatan terhadap senior” menjadi terdistorsi, di mana penghormatan berubah menjadi bentuk kepatuhan tanpa syarat yang didasarkan pada rasa takut, bukan keinginan untuk saling belajar dan mendukung.
Berdasarkan data, terdapat 3,3% kekerasan dilakukan perempuan. Pelaku melakukan kekerasan secara verbal dengan membentak mahasiswa baru hanya karena tidak memakai ikat pinggang. Kekerasan tersebut berlangsung pada tahun 2020 di Surabaya.
Beberapa kasus kekerasan yang melibatkan perempuan sebagai pelakunya, menandakan bahwa kekerasan dapat dilakukan laki laki maupun perempuan. Pelaku kekerasan lebih sering dilakukan oleh remaja laki-laki daripada remaja perempuan (Hutomo & Ariati, 2017, 2016; Suseno, 2018). Akan tetapi, saat ini pelaku tidak lagi melihat kepada pengelompokan jenis kelamin. Faktanya, kekerasan saat Ospek dapat dilakukan laki laki maupun perempuan.
Budaya kekuasaan dalam OSPEK tidak hanya berlangsung secara singkat, akan tetapi dampaknya seringkali menyebar ke keseluruhan kehidupan kampus. Ketertarikan antara senior dan junior yang terjadi selama OSPEK mempengaruhi bagaimana pola interaksi selama di lingkungan kampus.
Mahasiswa baru yang sudah terbiasa melihat senior sebagai sosok otoritas, biasanya akan terus mempertahankan pola hubungan itu, meskipun masa OSPEK sudah selesai. Mereka menerima posisi subordinat, dimana posisi junior atau sekelompok orang yang berada dibawah wewenang atau arahan dari senior, yang pada akhirnya membatasi keterlibatan mereka dalam berbagai aktivitas di dalam kampus.
Selanjutnya, dalam struktur sosial seringkali muncul ketiadaan kesempatan bagi mahasiswa baru untuk mengekspresikan pemikiran atau memberikan saran mengenai kegiatan OSPEK yang merupakan salah satu contoh jelas dari penguasaan senior.