Pada Senin, 11 Maret 2019, Dewan Kesenian Jakarta telah bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk mengadakan sebuah pameran, "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography", yang digelas di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
Setiap tahunnya, Bekraf selalu mengadakan sebuah pameran dengan tema dan bahasan yang berbeda. Tahun ini merupakan tahun ketiga wayang beber menjadi pilihan dari Bekraf. Pameran yang menggunakan wayang beber sebagai media ini berlangsung hingga Minggu, 17 Maret 2019.
Tak hanya pameran seni, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, generasi muda atau yang sering kita sebut dengan generasi milenial, semakin meninggalkan seni-seni tradisional. Mereka lebih tertarik dengan kebudayaan barat ataupun budaya Korea. Lalu, bagaimana caranya agar seni-seni tradisional tetap terselamatkan serta tetap dicintai oleh masyarakat khususnya generasi milenial?
Ditemui pada Jumat (15/3) lalu, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Alya Eka (13) mengatakan harapannya kepada generasi muda agar acara-acara seperti pameran seni tradisional "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography" menjadi lebih diminati lagi oleh generasi muda.
"Seniman kita sudah bersusah payah untuk menciptakan karya, jadi apa salahnya jika kita ikut melestarikan? Kita juga bisa lebih kreasikan dan modernkan agar lebih punya daya saing," tambahnya. Tak hanya itu, menurut gadis remaja satu ini, pameran seni tak hanya membuatnya mendapatkan hiburan, namun juga memiliki manfaat sebagai sarana edukasi. Keduanya berjalan secara seimbang.
Tak hanya Alya, harapan-harapan lainnya muncul dari para pengunjung dan juga pecinta seni pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography", agar generasi muda tetap mencintai serta menghargai seni-seni tradisional dan kebudayaan Indonesia.
Dendi (42), selaku pecinta seni yang menghadiri pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography" pada Jumat sore mengatakan bahwa perkembangan zaman adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari. Namun, tidak semua budaya yang datang dari luar adalah sesuatu yang negatif.
Kita harus bisa menyaring dan meliterasinya. Hal ini juga berlaku bagi generasi milenial yang semakin melek akan teknologi. Tak hanya itu, Dendi pun mengungkapkan rasa kagumnya terhadap pameran-pameran seni yang mulai memarekan arsip-arsip. Kini, pameran tidak hanya sekedar pameran lukisan atau instalasi, namun juga ada arsip yang dijadikan basis pameran.
Selain Dendi, Fifi (19), seorang mahasiswi yang datang dari Jakarta Barat pun ikut merasakan bahwa seni-seni tradisional Indonesia mulai meluntur dan kurang diminati oleh generasi muda. Ia berharap bahwa generasi muda turut mendukung adanya event atau acara-acara kesenian yang mengangkat kearifan lokal agar menjadi lebih peduli terhadap budaya Indonesia dan tetap mempertahankannya agar tidak di klaim oleh bangsa lain.
"Sangat perlu mengadakan banyak pameran dengan tema seni, apalagi jika mengangkat tentang budaya kita. Karena sangat banyak budaya kita sendiri yang masih belum kita ketahui. Dan lagi, pemerintah sudah sangat mendukung seniman lokal dengan adanya kementrian atau kabinet dibidang kreatif, sehingga dapat menjadi wadah seniman Indonesia khususnya seniman muda untuk terus berkarya dan berekspresi," imbuhnya.
Sebelumnya, pameran "di Balik Setiap Pintu, Wayang Beber dan Sensory Ethnography" merupakan karya gabungan dari para seniman Hongaria dan Indonesia, yang didasari atas penelitian diantara para siswa Hongaria yang tinggal di Indonesia, yang sebagian besar berada di kota Solo dan Yogyakarta.