Lihat ke Halaman Asli

Mutiara AlvinaPutri

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Trikotonomi Santri, Abangan dan Priyanyi Dalam Memberikan Suara di Pemilu 1955, dan Bagaimana Pengaruhnya

Diperbarui: 28 April 2023   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz seorang ahli antropologi asal Amerika Serikat mulai melakukan penelitian ke daerah Jawa dengan nama samaran Mojukuto ia melakukan obeservasi selama 6 tahun dengan hasil penelitian yang tertuang dalam bukunya. Geertz menghasilkan adanya trikotonomi santri, abangan dan priyanyi yang menjadi struktur sosial masyarakat Jawa, namun kita coba melihat dengan peta politik terutama kepada tingkat partisipasi kelompok santri abangan dan priyanyi pada pemilu 1955. hal tersebut meninjau sejauh mana mobilisasi dan pengaruh dari aliran tersebut pada pemilu 1955. Pemilihan umum atau proses-proses politik dalam menentukan orang yang akan menduduki jabatan politis dalam bermacam-macam kedudukan dalam pemerintahan yang baik. Santri yang berasal dari kalangan keagamaan kemudian terlibat dalam pemilu 1955 terciptanya polarisasi diantara kaum santri dan abangan, hal tersebut diakibatkan adanya mobilisasi massa yang dilakukan oleh partai politik dari kota hingga desa. Pada pemilu 29 September 1955 sejumlah 39 juta orang Indonesia dan sebanyak 37.785.299 atau 87,65 persen dari 43.104 orang yang terdaftar sebagai pemilih memberikan suara secara sah. Polarisasi yang terjadi ketika pendekatan terhadap massa dengan calon pemilih dengan pendekatan kultural

Kaum santri yang memiliki kecenderungan pilihan partai masyumi, NU dan PSII serta kaum abangan yang cenderung memilih PNI dan PKI, namun hal ini berbeda dengan kaum priyanyi yang terbagi merata diantara partai yang berkontestasi. Partai yang tampak adalah partai yang berlandaskan ideologi yang kuat dengan hadirnya PNI dengan ideologi sosionalis-demokrasi atau marhaenisme dan masyumi  adalah partai ideologi islam modern, sedangkan NU adalah dengan menjujung tinggi tradisonalisme yang melekat pada setiap golongan. Pada pemilu 1955 mulai menganalisa pilihan politik kaum santri dan abangan terhadap empat partai yaitu: PNI, Masyumi, NU dan PKI. Dimana PNI dan PKI representasi kaum abangan dan masyumi representasi NU. Sehingga kaum santri diantara pilihan masyumi dan NU dengan pendekatan yang berbeda pula semisalnya masyumi lebih dekat dengan PSI dan NU lebih cenderung bersahabat dengan PNI dan PKI, sehingga mereka mulai melakukan manuver politik dengan mendirikan badan kemenangan dan merebet suara santri pada kancah pemilu 1955. Namun di sisi lain PKI dan PNI menggaet suara kaum abangan dengan komunikasi politik yang hidup dan dinamis, strategi komunikasi politik terkait dengan partisipasi politik kaum abangan. Namun pada pemilu 1955 tetap dimenangkan oleh PNI dan PKI dengan kekuatan melawan anti komunis yang terpresentasikan dalam poros lain yaitu masyumi dan PSI. sehingga pada pemilu 1955 kaum abangan masih relative besar dengan kemenangan PNI, kemudian kemenangan ini dilakukan PNI dalam memanfaatkan nilai-nilai aristokrasi yang pegang oleh masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Sehingga pengaruhnya cukup besar dikalangan kaum abangan dan mobilisasi PNI dalam merebut suara abangan. Dalam hal ini keterlibatan Soekarno juga mendukung PNI dalam mengikuti kontentasi pemilu 1955.

Referensi:

Moh Sonhaji dan Faishal Hilmy Maulida, Komunikasi Politik dan Kecenderungan Pilihan Partai Kaum Santridan Abangan pada Pemilu 1955, Journal of communication Vol. 4 No. 1 (Maret 2020) hal. 9-13.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline