Lihat ke Halaman Asli

Mutiara CahyaNurani

Mahasiswi Sosiologi Universitas Jember

Kurangnya Kebebasan Ruang Lingkup Anak Difabel dalam Menempuh Pendidikan

Diperbarui: 15 November 2022   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang difabel tuna grahita yang tinggal di Kecamatan Pakusari, Jember (Sumber: Dokumen pribadi)

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia yang didalamnya terdapat sebuah pembelajaran mengenai pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan untuk menjamin keberlangsungan hidup seseorang agar menjadi lebih bermartabat dan mampu mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya. 

Bahkan Pemerintah Indonesia juga sudah mewajibkan kepada masyarakatnya untuk memperoleh adanya hak Pendidikan selama kurang lebih 12 tahun dan bahkan bisa lebih dari itu. 

Seluruh warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali termasuk orang-orang difabel. Difabel adalah seseorang yang memiliki kemampuan berbeda dengan orang normal pada umumnya atau memiliki hambatan dalam beraktivitas.

Seperti salah satu penyandang difabel bernama Putri (nama samaran) berusia 33 tahun yang merupakan seorang difabel tuna grahita. Tuna grahita merupakan orang yang mengalami keterbelakangan mental yang mana memiliki tingkat kecerdasan yang rendah dibawah rata-rata dengan orang-orang normal lainnya. Ayah Putri merupakan pensiunan PNS dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di Kecamatan Pakusari Kabupaten Jember. 

Pada saat menempuh sekolah dasar, Putri bersekolah di sekolah umum seperti anak pada umumnya. Berdasarkan penuturan Ibu Putri, ditengah perjalanan tepatnya pada saat kelas 1 SD, ia tidak bisa naik ke kelas 2 dikarenakan kurang mampu untuk menerima pembelajaran yang diberikan oleh Bapak/Ibu gurunya. Akhirnya orang tua memindahkan ke sekolah yang lain agar Putri menerima pembelajaran di sekolah dan dapat naik kelas hingga kelas 4. 

Sayangnya saat duduk dibangku kelas 4, ia lagi-lagi tidak dapat menerima pembelajaran sehingga dengan terpaksa harus tinggal kelas. Awal mula Ibu Putri mengetahui adanya penyakit Putri saat kelas 6 SD dimana ia sering mengalami kejang-kejang.

Adanya kejadian tersebut, pihak keluarga membawa Putri ke dokter dan dari situ barulah penyakit yang diderita Putri diketahui. Hingga pada akhirnya Putri mampu menyelesaikan pendidikan hingga tamat SMA meskipun mengalami beberapa hambatan saat sekolah dulu. 

Pada waktu duduk di bangku sekolah dasar Putri juga pernah mengalami tindak kekerasan dari salah satu gurunya, namun hal tersebut baru diketahui oleh pihak keluarga setelah ia duduk di bangku SMP. 

Selain itu Putri Juga sering mendapat ejekan dari teman-temannya karena kurang mampu menerima pembelajaran di kelas. Ayah Putri selalu bersikeras memindahkan Putri dari sekolah satu ke sekolah yang lain agar Putri dapat naik kelas dan lulus tepat waktu. 

Bahkan Ayahnya menyekolahkan Putri di sekolah umum agar seperti teman sebayanya dan tidak ingin Putri masuk di sekolah SLB atau sekolah khusus. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline