Menjadi Ibu Rumah Tangga: Perjalanan Bahagia yang Penuh Makna
"Sayang banget ijazahnya nggak dipakai."
Sahabat Kompasianer, tentunya pernah mendengar kalimat itu bukan?
Memang tidak sedikit yang menganggap bahwa dengan menjadi ibu rumah tangga penuh, itu berarti ia menyia-nyiakan pendidikan yang telah ditempuh dan membatasi potensi dirinya. Padahal sebenarnya menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan mulia dan penuh tanggung jawab.
Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya sendiri sering mendapatkan komentar semacam itu. Bukan dari orang jauh, justru kalimat senanda kerap terlontar dari orang-orang terdekat. Seperti orang tua, teman dan keluarga. Hal yang paling menyedihkan, jika hal tersebut diucapkan oleh orang tua. Saya merasa gagal menjadi seorang anak karena tidak menjadi seperti yang mereka harapkan.
Mengabaikan menjadi bentuk pertahan diri paling aman. Namun, pada saat-saat tertentu, komentar tersebut begitu meresap hingga dada terasa sesak dan pikiran menjadi sempit. Insecure? Tentu. Menyesal? Sering. Kenapa dulu aku risen?Kenapa aku menjadi manusia tak berguna seperti ini? Dan kalimat-kalimat keluhan lainnya.
Terlepas dari semua perasan dan pikiran-pikiran buruk tersebut. Hal yang sering dilupakan banyak orang dan terkadang saya sendiri, adalah kenyataan bahwa peran ibu rumah tangga bukanlah beban bagi suami, melainkan pelengkap perjuangan bersama.
Menjadi Ibu Rumah Tangga Adalah Peran Strategis
Menjadi ibu rumah tangga penuh waktu bukan berarti bersantai-santai dan berleha-leha di rumah. Perannya sangat kompleks, bahkan seorang ibu rumah tangga tidak mempunyai waktu libur, bahkan ketika sakit tidak ada cuti kecuali ibu itu sendiri yang membiarkan dirinya libur. Tentu demi kesehatannya sendiri. Walaupun sering kali yang membuatnya ingin segera sembuh adalah keluarga. Menyadari "jika aku sakit bagaimana keluargaku."
Bayangkan saja bagaimana jika ibu sebagi ibu rumah tangga sakit? Bagaimana keadaan rumah?