Aku tidak tahu pasti, hari itu hari apa? Hari dimana Matahari tidak terlalu panas tetapi tidak hujan. Hanya awan-awan menutupi langit. Cahaya Matahari tidak menyilaukan mata seperti biasanya. Namun, kupastikan hari menjelang Dzuhur. Karena baju baru yang kupakai hari itu telah dibasahi keringat di bagian punggung. Juga setelah pulang dari sana, kami mampir salat empat rakaat di Masjid Desa Sebelah.
Waktu itu Ayah membawa sabit lebar dengan gagang sedikit panjang. Aku tidak mau ikut naik ke bukit. Di atas sana, adik tidur di bawah tanah.
"Aku gak mau ikut ke sana!" kataku saat melewati jembatan kecil dari yang menghubungkan lapangan dan bukit. Seperti jembatan itu baru. Warnanya masih putih dan tiangnya warna hijau. Seperti bambu di kebun ayah.
"Kenapa?" tanya ibuku sambil memicingkan mata, melihatku berhenti berjalan. Aku pegangan erat tiang jembatan di sisi kanan.
"Takut," jawabku dengan gemetar. Di kapalaku, aku melihat ayah menggali kuburan adik.
Bagaimana kalau adik bangun dan marah? Aku takut.
Kata kakak adik sakit gara-gara suka aku gendong-gendong. Karena sakit, adik jadi mati dan dibiarkan tidur sendirian di atas bukit.
Aku benar-benar takut, tapi, ibu, bapak dan kakak tertawa mendengar jawaban itu. Mereka tak memaksa aku pergi dan meninggalkan aku sendirian di atas jembatan.
"Jangan turun ke kali, ya?" pesan ibu, sebelum berjalan menaiki bukit. Dari bawah, aku lihat mereka memanjat pelan. Berbaris beruntun seperti bebek kakek Upik.
Sambil menunggu mereka selesai bertemu adik. Aku bermain di jembatan bambu. Sambil menghanyutkan daun-daun Dadap ke kali di bawah jembatan.