Selamat pagi sahabat kompasianer. Artikel ini adalah artikel kedua di hari ini. Setelah berbulan-bulan tidak menulis rasanya kangen luar biasa. Butuh perjuangan keras bagi saya untuk menyelesaikannya.
Jambu biji terdengar istimewa di telinga. Bukan hanya karena menjadi topik pilihan di Kompasiana tetapi juga karena jambu biji mengingatkan tiga masa berbeda dalam kehidupan saya.
Masa kecil saat di kampung halaman, masa-masa di pesantren serta masa-masa kehamilan anak pertama maupun kedua.
Sebagai anak petani yang hidup di kampung, masa kanak-kanak terasa sempurna. Kehidupan anak desa yang ceria dan gembira benar-benar saya rasakan seutuhnya.
Bagaimana tidak gembira? Perpaduan hidup si Bolang dan Upin-Ipin, saya rasakan secara nyata. Berburu jambu biji dan jambu air dari kebun-kebun hingga ke halaman-halaman rumah tetangga.
Biasanya seorang teman akan mengajak temannya lagi, padahal yang kenal dengan pemilik pohon hanya satu orang saja. Dari hal inilah pergaulan anak-anak menjadi luas, meski tanpa media sosial seperti sekarang.
Jambu biji dan jambu air adalah dua buah-buahan yang paling banyak mewarnai kehidupan masa kanak-kanak kami (cah gunung). Di mana ada pohon jambu, maka di situ akan ramai dengan anak-anak.
Jika pohonnya besar sepuluh anak bisa naik secara bersamaan. Rasanya aneh, anak-anak di jaman saya tidak bisa naik pohon, keterampilan ini hampir dimiliki setiap anak. Baik laki-laki ataupun perempuan.
Jambu adalah buah paling murah. Sebab bisa dinikmati secara cuma-cuma, itu yang melekat dalam pikiran saya selama ini. Karena hal itu yang saya rasakan dulu.
Namun, setelah merantau dan melihat buah jambu banyak dijual di pinggir-pinggir jalan dan kios-kios buah, saya mulai bertanya-tanya. Apa istimewanya buah jambu biji? Kok dijual, apa ada yang beli!