Lihat ke Halaman Asli

Mutia AH

Penikmat Fiksi

Pengalaman Kecopetan Tak Terlupakan

Diperbarui: 18 Juni 2021   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar by Pixabay

Saat itu saya masih kelas tiga sekolah dasar. Seperti anak-anak kebanyakan, mempunyai baju baru saat lebaran menjadi dambaan. Karena sudah memasuki pertengahan Ramadan Ayah pergi ke pasar. Katanya, akan membelikan kami, anak-anaknya baju baru. Namun sayangnya, semua itu hanyalah rencana sebab kejadian tak terduga terjadi. Ayah kecopetan dalam bus sewaktu dalam perjalanan menuju pasar.

Kabar tentang kecopetan itu disampaikan bibi. Saat  saya sedang bermain engklek di halaman rumah nenek. Seenak jidat ia meledek dengan berkata. "Kasihan, kamu gak jadi beli baju baru. Bapaknya kecopetan."

Dulu saya tak mengerti kenapa bibi bersikap seperti itu, tetapi sekarang saya tahu. Jika bibiku pernah mengalami fase kurang akhlak.

Waktu itu saya langsung pulang untuk memastikan. Sesampainya di rumah, saya langsung mengendap-endap ke bawah jendela kamar dan mengintip kondisi Bapak  dari balik kaca.

Di atas kasur kapuk, Bapak tidur terlentang dengan menutup wajah dengan bantal. Melihatnya demikian, sudah dipastikan apa yang didengar, benar adanya. Bapak kecopetan. Seketika air mata bercucuran, saya menangis dengan menahan suara. Hati hancur, bukan karena tidak jadi beli baju. Akan tetapi hati tak tega melihat kesedihan Bapak.

Setelah melampiaskan kepedihan dengan membiarkan air mata bercucuran  . Kemudian saya masuk dan menghapus jejak tangis dengan bersikap biasa saja. Walaupun ternyata hal itu sia-sia. Sebab sehari setelahnya, saya demam dan ternyata ibu memperhatikan tindak tanduk saya. 

Saat bangun tidur, lamat terdengar ibu sedang bercakap-cakap dengan uwa. Ia tengah menceritakan prihal, saya yang mengintip, menangis dan kemudian demam. Entah bagaimana ibu bisa tahu, apa yang saya lakukan dan rasakan. Padahal tak sepatah katapun terucap dari mulut ini mengenai hal itu. Bahkan sampai tulisan ini dibuat.

Sejak saat itu, saya berkesimpulan. Bahwa Bulan Ramadhan identik dengan pencopetan. Sebab setelah kejadian itu, telinga ini sering kali mendengar berita yang sama. Setiap orang yang pulang dari pasar selalu mengatakan dua hal. Harga mahal dan pencopetan.

Namun seiring berjalannya waktu, kasus pencopetan semakin berkurang. Entah karena meningkatnya kesejahteraan atau saya yang semakin disibukan dengan kegiatan. Sehingga tak lagi mendengar berita-berita semacam itu.

Namun ternyata setelah saya memasuki masa kuliah. Pengalaman kembali merubah kesimpulan. Pencopetan yang saya anggap sudah lenyap ternyata masih gerak cepat mengambil yang bukan hak. Saya akhirnya harus mencicipi sendiri, rasa kesal pada pencopet pembawa sial. Padahal waktu itu, dalam angkot tak banyak penumpang. 

Entah bagaimana cara tangan pencopet menyelinap masuk dan mengutil hape yang belum genap seminggu menjadi milikku. Ah, yang jelas waktu itu saya tak sadar. Begitu turun dari angkot dan hendak mengecek SMS yang masuk. Hape sudah raib entah kemana? Sedangkan angkot pun telah melaju dan entah telah sampai di mana?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline