Lihat ke Halaman Asli

Mutia AH

Penikmat Fiksi

Ketika Bayi Itu Lahir

Diperbarui: 1 Juni 2021   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar by Pixabay

"Auw! Sakit, Mas!" teriak Clara sambil memukuli Mas Yuda. Dengan suka rela, lelaki itu menerima perlakuan Clara yang diluar kendali.

Dunia berpusat pada Clara saat ini. Mas Yuda di samping kanan dan ibunya Clara di samping kirinya. Sementara, Aku, Bidan Yuni dan Sita, di bagian bawah dekat kaki yang sesekali memegangi agar posisi Clara tetap terentang.

Keringat bercucuran dari kening, Clara. Tulang rahangnya terlihat mengeras dan mulutnya tak berhenti berteriak. Sementara tangan kanannya berkali-kali memukul dan mencakar Mas Yuda.

Meskipun berat aku mencoba tetap profesional. Menyaksikan dan membantu proses kelahiran ini dengan perasaan campur aduk. Kepala terasa pusing dan berat, melihat darah yang mengalir dari kemaluan Clara semakin banyak, membasahi kain selimut yang kini tak berbentuk. Ada kekhawatiran menyeruak. Clara adalah pasien pertama yang ditangani dan memiliki hubungan tak baik denganku. Hati semakin tak karuan, sekeras apa pun aku berusaha tenang.

Hampir satu jam, Clara mengejan tetapi jabang bayi masih enggan keluar. Hanya terlihat rambut hitam menyembul dari jalan lahir. Akhirnya setelah Bu Bidan menggunting daging empuk milik Clara, seorang bayi perempuan menangis menyambut Dunia.

Spontan, aku menggendong bayinya dan menyerahkan pada Clara sembari berucap. "Selamat Clara, bayimu cantik sekali." Seiring air mata yang menetes tak tertahan.

Clara mengambil alih bayi dari tanganku. Dengan mengembangkan senyuman. Perjuangan mempertaruhkan nyawa seketika terbayar, saat ia menggendong dan menyusui bayinya.

Mas Yuda, melihat bayi mungil yang sedang berusaha menemukan puting susu ibunya. Aura kebahagian terlukis dari senyum dan tatapannya. Perlahan ia mendekat ke arah Clara dan mendaratkan kecupan mesra. Aku mengalihkan pandangan dan beranjak meninggalkan ruangan, tanpa berpamitan.

Dengan tangan kiri pintu ditutup tanpa membalikan badan. Aku berjalan ke arah toilet menghindar bertemu dengan banyak orang. Langkah kaki ini terasa gamang dengan kepala yang kosong. Pandangan mata mulai mengabur dengan air mata terus bergulir.

"Lis." Usapan lembut di pundak membuatku reflek menoleh. Bidan Yuni, merangkul tubuhku hingga sampai toilet.

"Sabar, Lis," ucapnya parau. Mendapat empati, seketika aku menangis sesenggukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline