Lihat ke Halaman Asli

Mutia AH

Penikmat Fiksi

Ibuku, Pahlawan Devisa

Diperbarui: 25 November 2020   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar by Pixabay

Gemuruh hujan tak lagi terdengar. Rintiknya melambat. Menyisakan tetes-tetes kecil di ujung daun. Meninggalkan genangan di jalan berlubang. Suasana teramat lengang. Bunyi motor yang melintas di jalan depan rumahku terdengar memilukan. Seirama kesedihan yang melanda hati.

Tiada air mata yang menetes, tetapi kegelisahan ini tak terbendung lagi. Aku rindu ibu, benar-benar rindu. Tak pernah rasakan ini sebelumnya. Pigura kusam berisi foto ibu dan nenek kupeluk erat. 

"Kenapa harus ke jadi TKI, bu, cari duitnya?" tanyaku waktu itu, saat malam terakhir sebelum ibu berangkat. Sebenarnya bukanlah pertanyaan, dalam hati aku ingin mengatakan. "Ibu, jangan pergi." Akan tetapi tak ada keberanian. 

"Kalau carinya di luar negeri, uangnya cepat banyak. Setelah dua tahun, ibu punya modal dan pulang. Ibu akan buka usaha di sini biar terus bersama-sama denganmu," jawabnya optimis, kala itu. Aku tersenyum dan memeluknya erat hingga tertidur pulas. 

Keesokan harinya di pagi hari buta, seisi rumah sibuk. Karena semua akan ikut ke Bandara mengantarkan ibu. Hanya tersisa aku dan kakek di rumah. Ya, tentu saja nenek pun ikut ke Bandara. Karena nenek dan ibu sama-sama berangkat untuk menjadi TKI meski nantinya mereka tinggal di rumah majikan yang berbeda. 

Enam bulan lamanya ibu merantau di negri nun jauh di sana tanpa kabar berita. Bahkan nenek yang berangkat bersamanya tak tahu kabar ibu. Setiap kali nenek telepon, aku selalu menanyakan ibu tetapi jawabannya selalu sama. "Aku tak tahu."

Hingga aku lelah dan putus asa, tak ingin lagi merindukannya. Sebab perasan itu semakin menyiksa. Kujalani hari-hari tanpa ibu bahkan hingga usia 17 tahun.

Terkadang ada sesal melintas tajam, seandainya aku tahu malam itu adalah malam terakhir bersama ibu. Aku akan melarangnya pergi menjadi TKI. 

Namun, apalah arti pendapat seorang anak berusia tujuh tahun. Mereka, nenek dan ibu hanya berpikir tentang masa uang dan masa depan. Seandainya saja mereka mau mengerti, kasih sayanglah yang paling kubutuhkan. 

Meskipun keberadaan ibu tiada kabar berita. Namun nenek senantiasa mengirimkan uang hasil jerih payahnya, untuk kami. Melalui bibi terdekatku. Hingga dua tahun kemudian nenek pulang tetapi tidak bersama ibu. 

Setiap kali kutanyakan tentang ibu, nenek selalu berkata. "Ibu di sana baik-baik saja. Belajarlah yang rajin biar jadi orang pintar. Cari uang gampang tak sampai ke negeri orang."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline