Lihat ke Halaman Asli

Mutia Senja

Pembelajar

[Resensi] Nizar Qabbani; Engkau Menulis Puisi, Aku yang Menandatangani

Diperbarui: 26 April 2020   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Dok. Pribadi

Judul buku                  : Begitulah, Kutulis Sejarah Para Perempuan

Penulis                         : Nizar Qabbani

Penerjemah                  : Musyfiqur Rahman

Penerbit                       : Diva Press

Tahun terbit                 : Oktober 2019

Tebal                           : 108 halaman

ISBN                           : 978-602-391-801-0

            Mengangkat satu judul menarik Nizar Qabbani, “Engkau Menulis Puisi, Aku yang Menandatangani”, sengaja menangkap kesan utama buku ini yang tegas namun halus. Serupa ketika penulis bersajak, aku tak pernah mencoba turunkan hujan/juga keluarkan dari kantong sebilah bulan/cinta itu memiliki undang-undang/maka saat tengah berbuah, jangan pernah ia kau biarkan. Kemudian saya mengangguk sambil masih bersemangat membaca buku ini seolah mendengar Nizar berucap: aku menulis puisi, kau yang meresensi!   

Musyfiqur Rahman—setelah terbitnya Asyhadu An La Imraata Illa Anti (“Aku Bersaksi Tiada Perempuan Selain Engkau”) terbitan Basabasi, Yogyakarta, kali ini disusul sajak Nizar bertajuk “Begitulah, Kutulis Sejarah Para Perempuan” yang diterbitkan Diva Press (Oktober, 2019). Keduanya, bertemakan perempuan yang menjadi ciri khas kepenyairan sekaligus keberpihakan Nizar Qabbani terhadap para perempuan. Tak heran, dirinya ditahbiskan sebagai Penyair Cinta atau Penyair Perempuan pada masanya.

            Bersampul ilustrasi seorang perempuan mengenakan rok merah marun, tampak bersijengket—Sukutangan berhasil memperkuat rasa penasaran perihal sejarah apa yang hendak disajikan Nizar. Apakah sejarah tentang asal-usul yang mengisahkan masa lampau hingga terbentuklah manusia berjenis kelamin perempuan? Atau sebagaimana penyair mengimajinasikan keindahan seseorang yang dicintainya dalam wujud paling puisi?

            Barangkali dalam sajaknya, Pengantar 1 sampai 3, Nizar menawarkan jawaban, kau adalah awal mula/lalu barulah ada para perempuan (hal. 18). Meski masih terkesan simbolis, dalam sajak pengantar yang lain dituliskan, aku tak menulis kepiluan seorang perempuan pun/aku hanya menulis sejarah para perempuan. Lalu, kepiluan dan sejarah para perempuan seperti apa yang dimaksud Nizar? Mengapa dalam “Percakapan Bersama Perempuan Paruh Baya”, dia bersajak, benar bahwa sejarah/akan memutar kembali dirinya sendiri (hal. 101)? Apakah setelah membaca buku ini, kita akan dipahamkan kepada pengetahuan semula tentang perempuan menurut versi pembaca?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline