Lihat ke Halaman Asli

Mutia Senja

Pembelajar

[Resensi Buku Puisi] Memeluk Hujan

Diperbarui: 19 Maret 2019   20:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

twitter.com/alfinrizal

Resensi ini telah dimuat Ruangdiskusi.com pada 30 Januari 2019

Sumber gambar: alfinrizalisme.wordpress.com

Membaca prolog Alfin Rizal berjudul Aku Ingin Lahir dan Mati Seperti Hujan, mengingatkan saya dengan potongan puisinya George Douglas Johnson yang pernah dikutip Dimas Indiana Senja dalam Kulminasi; Kumpulan Cerpen Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival 2016, /aku ingin mati ketika kau mencintaiku/ ah, siapa yang menghendaki hidup/ tatkala cinta tak bisa lagi dipertanyakan/ dan tak ada lagi yang bisa dipersembahkan? Meskipun Alfin tidak setajam Johnson saat memuisikan gejolak hatinya.

Membaca ulang penafsiran Muafiqul Khalid bertajuk Kaleidoskop Cinta dalam Asmaragama yang dimuat Kibul.in (11/08) saya sepakat, "Sejatinya cinta adalah pembebas dari perasaan takut, tapi dalam puisi (Alfin Rizal) ini, ia justru ketakutan dengan cinta itu sendiri". Apa yang sejatinya menjadi ketakutan Alfin hingga ia kembali menuliskan ketakutan atau lebih tepatnya kekhawatiran yang 'baru' ke dalam sehujan puisinya?

Daruz Armedian, cerpenis kondang yang kesehariannya (bisa jadi) tidak pernah lepas dari kehidupan Alfin Rizal paska lahirnya Asmaragama dan satu atap di Komunitas Kutub berhasil membuat Perkara Menuliskan Hujan. Meskipun besar kemungkinan dalam keseharian mereka penuh canda tawa, kali ini Daruz serius membahas hujan. 

Tak tanggung-tanggung, mengawali pengantar, ia mengintip kutipan Jorge Luis Borges---membuktikan tulisannya digarap dengan kesadaran penuh. Di bagian kelima, Daruz mengungkapkan maksud buku puisi ini ditulis; menghapus kesedihan yang melekat pada orang lain. Dua kali, Daruz menuliskan si penulis berusaha ingin "menyambuhkan luka seseorang" pada alenia yang sama. Tentu bagi pembaca, ini semacam kata kunci.

Membaca bagian pertama perihal Mengunjungi Hujan, saya menemukan judul Aku Tak Akan Berhenti yang persis dengan lirik lagu Wali Band, Doaku Untukmu Sayang. Berharap menjadi satu tujuan dengan lirik lagu ini, Alfin mengakhiri puisinya dengan dua baris kalimat, /aku tak akan berhenti mencintaimu walau/ tuhan begitu peduli pada luka-lukaku

Satu pengharapan dengan pungkasan lirik lagu Wali, /aku tak akan berhenti/ menemani dan menyayangimu/ hingga matahari tak terbit lagi/ bahkan bila aku mati/ ku kan berdoa pada ilahi/ tuk satukan kami di surga nanti. Satu awalan yang cantik untuk membuka lembar demi lembar puisinya sambil menikmati alunan musik.

Barangkali, menjadi kekasih seorang penyair di hadapan puisi yang dibaca bukan sesuatu yang melanggar undang-undang dan agama (memijam istilah Daruz). Maka dengan hati-hati membuka tiap bagian puisi Alfin hukumnya 'sunah'. Meskipun /aku air mata yang bergenang kesepian/ memantulkan warna malam usai hujan

Tidak melulu puisi Alfin menggambarkan harapan pengorbanan meskipun doa adalah salah satu 'organ'-nya, melainkan kesepian yang berkali-lipat membuat pembaca merasakan hal yang sama. 

Seperti ketika Aroma Hujan mengundang gerimis yang fasih menciptakan rasa, /aroma itu/ irama hujan/ yang pecah dan mampir/ mengepung kedua kuping/ lekas kulepas rinduku/ sebelum surut gerimis/ memilih kita dari isak/ tangis cinta yang/ gagal kita buat. Gagal kita buat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline