"Entahlah, aku merasa seperti itu saja. Dulu, guruku pernah mengatakan bahwa sebelum kita dilahirkan ke bumi, ruh kita pernah dekat, itulah mengapa ketika berada di bumi kadang kita merasa dekat dengan orang yang belum pernah kita kenal.
Sebelum jarak terbentang, barangkali kita dulu pernah sedekat ini," ucap Sheli sembari merekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya hingga berdekatan dan mengarahkan ke Alendra.
Percakapan terakhir Sheli dan Alendra dalam novel Anomali Hati, barangkali, dapat digambarkan sebagaimana ilustrasi dalam cover buku ini. Dua insan yang memandang jam tangan masing-masing dengan saling membelakangi satu sama lain.
Tepat dengan cerita yang akan disuguhkan dalam novel Lubis Grafura yang banyak mengandung "ungu" juga "biru"-nya sebuah kehidupan penuh teka-teki. Persis dengan cover buku terbitan Mojok ini.
Pertemuan mereka bermula ketika di kampusnya seseorang telah salah mengirim pesan. Alendra menanggapinya dan mereka menjalin persahabatan melalui dunia maya. Terjadi keterhubungan di antara mereka berdua (hal 13).
Hingga pertemuan mereka diakhiri dengan perjumpaan di sebuah Taman Belajar setelah fase yang cukup lama. Ketika sebuah mobil merah milik professor terlihat melaju di hadapan mereka. Dan selalu, "Semua akan baik-baik saja," tegas Alendra.
Lubis Grafura, dalam biografi singkat dipaparkan; lahir di Kediri, 8 Juli 1984. Terpilih sebagai salah satu penerima dana hibah dari Kementrian Pendidikan Nasional, Pusat Perbukuan, dan Kurikulum pada tahun 2011. Pernah mendapatkan berbagai pengharagaan nasional di antaranya Juara 1 Lomba Cipta Puisi tentang Keagungan Nabi Muhammad pada tahun 2007 yang diselenggarakan atas kerja sama Indonesia-Irak. Saat ini aktif sebagai pengampu Jurnalistik pada SMKN 1 Nglegok Blitar.
Latar belakang penulis sebagai pengampu jurnalistik, ternyata mampu mengangkat sebuah tema yang realistis tentang anomali waktu. Serentetan kisah ilmiah yang dibalut dengan fiksi seakan mengajak kita untuk peka terhadap segala hal yang terjadi di lingkungan.
Hal ini membuat saya sepakat dengan pernyataan Dea Anugrah, penulis Bakat Menggonggong; "Writer's block itu seperti dosa. Kalau kita tidak memikirkannya, ia tidak ada. Seperti kata Szymborska: dua puluh tujuh tulang, tiga puluh lima otot, dan dua ribu saraf pada tiap ujung jari-jari kita sudah lebih dari cukup untuk menulis apa saja."
Maka, biarkan saya menyimpulkan satu hal dalam buku ini, bahwa syukur sangat berkaitan erat dengan inspirasi. Meskipun boleh dikatakan bahwa mereka bukan "saudara kandung", namun keduanya cukup berhasil untuk mendefinisikan hukum baru tentang teori semacam kait-mengait, dominasi, atau teori apa saja (yang bebas untuk disebutkan).
Sebab, inspirasi tercecer di mana-mana; bawah meja, saku baju, rak piring, ampas kopi, sapu lidi, atau bahkan bau mulut kita sendiri. Bau mulut! Saya tidak habis pikir bagaimana Dee Lestari juga mampu membuat resep aksara dengan bumbu aroma. Ya, Aroma Karsa. Fantastis!