Lihat ke Halaman Asli

Mutia Aprilia

Mahasiswi Universitas Pamulang

Stigma Laki-laki Tidak Boleh Lemah

Diperbarui: 24 Oktober 2022   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya tersadar akan tuntutan masyarakat agar laki-laki kuat dan aktif, tapi saya merasa ingin laki-laki supaya ia juga tenggang hati, lembut, dan peka dengan orang lain dan kebutuhan sekitarnya. "Kok cowok letoy" kalimat seperti itu sangatlah sering terdengar di lingkungan masyarakat. Pernyataan tersebut termasuk ke dalam toxic masculinity. Laki-laki di tuntut untuk kuat, tidak boleh lemah dalam kondisi dan keadaan apapun. Stigma atau anggapan laki-laki tidak boleh lemah sudah menjadi hal yang wajar di dalam kehidupan kita.

Toxic Masculinity sendiri muncul pada tahun 80an. Berawal dari gerakan pria yang diciptakan oleh profesor Shepherd Bliss, pengajar psikologi di Universitas John F. Kennedy untuk mendefinisikan sifat maskulinitas militer dan otoriter yang dimiliki ayahnya. Beliau menggunakan istilah medis karena percaya bahwa setiap penyakit pasti memiliki penawarnya.

Lalu, seiring perkembangan zaman, pada awal 2000an toxic masculinity berkembang menjadi bahan literatur akademis, dan kebijakan yang lebih luas. Literatur tersebut mengemukakan bahwa hubungan ayah-anak yang jauh secara emosional menghasilkan toxic masculinity pada laki-laki. Oleh karena itu, anak laki-laki membutuhkan figur ayah yang baik untuk menghindari menjadi pria yang memiliki toxic masculinity. Anak laki-laki membutuhkan pandangan yang tepat mengenai maskulinitas dan hal tersebut tidak dapat diberikan oleh ibu.

Dengan kajian dan penelitian yang sudah banyak dilakukan, maka Toxic masculinity berisi tentang kejantanan seorang laki-laki, dimana laki-laki jadi merasa tidak boleh nangis, sedih, emosi, kesakitan. Hal tersebut yang dapat menyebabkan bahayanya kesehatan mental untuk laki-laki. Sehingga laki-laki memiliki pemikiran harus memendam emosi dan takut untuk merasa sedih, sensitif, dan rapuh pada setiap masalah yang dihadapi yang sebenarnya hal tersebut tidak benar.

Hal ini berakibat fatal terhadap pengambilan keputusan hidup dari Laki-Laki itu sendiri, bahkan hasil penelitian dari The Centers for Disease and Prevention menunjukkan bahwa persentase kematian laki-laki akibat mengakhiri hidupnya lebih tinggi dibandingkan oleh perempuan sebesar 3,5 kali lipat, disebabkan mereka cenderung lebih tertutup mengenai apa yang mereka rasakan dan alami.

Selain gender Laki-Laki, para individu yang bergender Perempuan juga bisa terkena dampaknya. Karena sedari kecil anak laki-laki di ajarkan tidak boleh lemah, sehingga laki-laki merasa harus menjadi lebih keras dan dapat berujung kekerasan, baik dalam suatu hubungan, maupun perempuan sekitarnya. Dengan sifat keras laki-laki, jadi pemimpin jantan yang perlu menundukkan perempuan-perempuan dalam hidup mereka.

Dalam tulisan Nur Firdiyogi dalam skripsi "Kontruksi Sosial Maskulinitas Positif dan kesehatan Mental", disebutkan ciri-ciri toxic masculinity dapat diketahui dengan perilaku yang secara umum berikut ini:

1. Mempunyai pandangan bahwa laki-laki tidak seharusnya mengeluh dan menangis.

2. Laki-laki cenderung bersikap kasar terhadap orang lain.

3. Rasa mendominasi terhadap orang lain.

4. Agresif, bahkan kasar secara seksual terhadap pasangan atau orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline