Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Birokrasi: Tax Amnesty dan Governmentality

Diperbarui: 11 Oktober 2016   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

image: www.goods.is

Gegap gempita Tax Amnesty beberapa bulan lalu membuahkan kebahagian tersendiri di akhir September lalu, paling tidak bagi pemimpin bangsa yang menginisiasi program ini dan juga para punggawa Dirjen Pajak di Republik ini. Saya sih berharap masyarakat Indonesia ikut berbahagia, karena memang optimisme Tax Amnsety akhirnya tercapai bahkan melebihi target di sepertiga program nya.

Saya tidak akan membicarakan angka-angka target dan capaiannya karena sudah jelas beredar di banyak media, saya juga tidak akan merasa perlu memuji setinggi langit keberhasilan Tax Amnesty di Indonesia sebagai nomor satu di dunia bahkan mengalahkan Italia, karena saya tidak punya dan tidak tertarik mencari data tentang Tax Ratio di Italia dan negara lain yang menjadi pesaing program Tax Amnesty sehingga prestasi itu bisa apple to apple.

Yang menarik buat saya adalah pertarungan wacana (diskursus) yang terjadi di awal dan selama program berjalan. Dan kemudian yang terjadi adalah berbondong-bondongnya dan panjangnya antrian para wajib pajak di kantor pajak bahkan sampai tengah malam untuk mengikuti program ini, sebuah usaha dan pengorbanan yang luar biasa menurut saya. Tujuannya ya untuk mengungkap yang belum terungkap, kalo perlu menebus yang perlu ditebus supaya lega.

Sebagaimana kita tahu, pajak adalah sebuah kewajiban bagi warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak. Kewajiban tersebut, selama ini dimaknai sebuah keharusan yang bila tidak dilaksanakan akan terkena hukuman. Dirjen pajak selama ini membuat slogan ‘orang bijak taat pajak’, berharap masyarakat bisa tersihir dengan slogan dan memantaskan dirinya sebagai orang bijak yang kemudian sukarela membayar pajak. Apparatus negara yang merasa punya otoritas, diwakili Pegawai pajak pun kemudian banyak melakukan penyisiran dan pemeriksaan pajak sampai-sampai mereka dipersepsikan sebagai makhluk yang kejam dan brutal jika datang di sebuah kantor/perusahaan.

Adapun ada beberapa penyimpangan dan kenakalan itu soal lain. Namun apa yang terjadi kemudian, masih banyak kasus pengemplangan pajak dan Tax Ratio di Indonesia katanya masih sangat rendah. Sampai disini berbagai aturan pajak masih bersifat koersif atau menghukum orang yang dianggap tidak taat pajak, slogan hanya sekedar dipasang tanpa ada tindakan persuasif yang mengena di benak dan hati masyarakat. Sampai disini, kekuasaan masih bersifat dominan, satu arah dimiliki oleh negara.

Akhirnya wacana (diskursus) yang beredar juga hanya satu arah, yaitu negara mewajibkan rakyatnya agar membayar pajak demi kemaslahatan masyarakat yang lebih banyak. Reaksi penolakan membayar pajak dan wacana yang melawan kewajiban pajak belum dianggap sebagai anti kekuasaan yang selalu ada dalam setiap kekuasaan. Resistensi yang ada dicoba dihilangkan dengan memperkuat pemeriksaan dan hukuman. Relasi kekuasaan menjadi mentok , tidak beroperasi dengan baik, hanya dijalankan dengan cara-cara koersif, hasilnya kepatuhan yang diharapkan masih jauh panggang dari api.

Kekuasaan yang saya maksud disini bukan kekuasaan yang selalu dipahami selama ini, bukan tentang kekuasaan yang dipegang dan dimiliki oleh seseorang atau sekelompok elit. Kekuasaan yang saya maksud disini adalah kekuasaan yang oleh Foucault diartikan sebagai cara mempengaruhi orang/sekelompok orang yang berada dalam setiap relasi manusia. Kekuasaan itu ada dimana-mana (omnipresent), dan produktif karena dapat menghasilkan berbagai wacana (diskursus).

Dalam setiap kekuasaan selalu ada anti kekuasaan. Dalam pengertian ini, Negara dan aparaturnya tidak memegang kekuasaan, namun hanya sebagai sarana yang mempunyai otoritas khusus untuk mengatur masyarakatnya. Sama saja? Tidak, jika negara dan aparatur menganggap kekuasaan dapat dipegang, mereka akan cenderung mendominasi dan mematikan anti kekuasaan. Kekuasaan dominasi adalah kekuasaan yang mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut tidak mempunyai ranah pilihan lain dalam tindakan mereka. Sedangkan kekuasaan itu sejatinya ada di setiap relasi kehidupan manusia. Termasuk anda membaca tulisan saya ini, menjadikan saya sebagai apparatus yang sedang melancarkan strataegi kekuasaannya untuk mempegaruhi anda. 

Lalu, program tax amnesty ini digelar, program ini banyak menimbulkan perdebatan publik, beberapa pengamat bahkan pejabat banyak yang pesimis dan juga optimis lengkap disertai berbagai analisa yang diyakini benar. Masyarakat pun termasuk netizen banyak yang underestimate dan overestimate terhadap program ini, bahkan telah menyebarkan berbagai pemahaman dan asumsi yang menurut mereka juga benar. Itu semua adalah pendapat yang didasari oleh pengetahuan mereka masing-masing.

Pertarungan wacana (diskursus) yang mengemuka adalah tax amnesty akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat vs menyengsarakan rakyat kebanyakan, pensiunan, pengusaha kecil dan menguntungkan pengusaha kelas kakap, menguntungkan para penjahat. Ini kemudian bukan sekedar salah/benar memahami sebuah program, tapi bagaimana para aktor kemudian memberikan pengaruh kepada khalayak tentang pemahaman mereka, memberi pandangan dan analisa yang kemudian berpengaruh kepada tindakan seseorang dan sekelompok orang.

Inilah relasi dalam kekuasaan, setiap orang memperlihatkan strategi dan tekniknya untuk memperngaruhi orang lain. Dimana negara dan aparaturnya? Mereka mencoba memperhatikan, tidak mematikan. Mereka mencoba memahami dan kemudian memberikan pengertian, mereka tidak mengelompokkan mana orang yang baik dan mana orang yang tidak baik yang kemudian menghukum dan menghakimi orang sebagai orang yang tidak paham dan harus di ‘selesaikan’.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline