Lihat ke Halaman Asli

mutia rahmi

Kasubag. Perpustakaan

Drama Kebijakan Minyakita

Diperbarui: 13 Juni 2023   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Persoalan kelangkaan minyak terus berlanjut, Pemerintah mengklaim hadirnya solusi Minyakita untuk masyarakat miskin. Minyakita dibandrol Rp 14.000,- namun kini permasalahan berlanjut dengan kelangkaan Minyakita. Para Pedagang mengeluhkan untuk mendapatkan Minyakita harus melalui mekanisme budling dengan produk tertentu, hal ini yang menyebabkan mereka tak dapat menjual Minyakita sesuai harga yang ditetapkan pemerintah. Alhasil, Pemerintah gagal memberikan solusi yang ada berdasarkan alasan berikut ini:

Politik Pencitraan dan Tambal Sulam

Kebijakan migor bersubsidi MinyaKita sejatinya hanyalah kebijakan tambal sulam dan penuh pencitraan. Dikatakan tambal sulam karena kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan mahal dan langkanya minyak di masyarakat. Jika distribusi masih bertumpu pada swasta, aliran barang tentu bermuara pada individu kaya saja dan kendali harga bisa dimainkan oleh swasta.

Ulah Sistem Kapitalisme

Saat rakyat kesulitan memperoleh minyak goreng murah Pemerintah tidak langsung memberikan subsidi kepada rakyatnya karena sistem ekonomi kapitalisme menganggap subsidi langsung kepada individu tidak produktif dan dapat memanjakan individu tersebut. Sementara itu, subsidi pemerintah diberikan kepada perusahaan dianggap akan menggerakkan perekonomian, padahal tidak semua individu mampu bekerja dan mengakses itu semua.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, tidak ada mekanisme lain dalam distribusi harta selain mekanisme pasar. Alhasil, negara hanya sebagai regulator tempat bertemunya rakyat dengan pedagang. Jika sudah begini, aliran distribusi barang hanya kepada golongan tertentu.

Seharusnya, solusi langka minyak goreng harus menyentuh pada hal dasar yaitu distribusi yang harus dilakukan oleh Negara. Negara berkewajiban mengurusi urusan rakyat terutama dalam memenuhi kebutuhan pokok. Paradigma sistem kapitalisme telah memandulkan peran negara dalam mengurusi umat.

Adapun sistem Islam, dikatakan mampu menjawab persoalan demikian setidaknya karena dua poin. Pertama, Islam memosisikan negara sebagai pihak sentral dalam setiap urusan umat. Fungsi negara adalah untuk mengatur umat manusia agar bisa hidup sejahtera dan bahagia dengan menjamin kebutuhan dasarnya. Kesejahteraan tidak diukur secara agregat, melainkan individu per individu. Dalam hal ini, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Negara harus benar-benar mengurusnya, tidak boleh menyerahkan kepengurusannya kepada swasta. Keberadaan swasta boleh saja ikut andil, tetapi sifatnya sekadar membantu negara. Artinya, kendali penuh distribusi tetap ada di tangan negara.

Mekanisme distribusi harta ada dua, yaitu ekonomi dan nonekonomi. Mekanisme ekonomi adalah melalui aktivitas ekonomi yang bersifat produktif. Misalnya, larangan menimbun harta benda walaupun dikeluarkan zakatnya sesuai dalil QS At-Taubah: 34

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.

Selain itu larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline