Lihat ke Halaman Asli

Supremasi Hukum Minus Kedaulatan

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Supremasi hukum sebagai salah satu amanat reformasi yang diagungkan pasca runtuhnya orde baru. Semakin populer seiring berjalannnya satu dekade reformasi, letupan – letupan kasus hukum yang terungkap, dan adanya lembaga-lembaga spesifik untuk menangani bidang tertentu. Hari demi hari perjalannya, semakin nampak keberadaannya sebatas lip service yang memoles reformasi dan demokrasi. Setidaknya dalam delapan pekan terakhir kenyataan miris yang menggerogoti ranah berlambang dewi yang membawa neraca dengan penutup mata kain hitam.

Mengawali tahun 2015, fragmen supremasi hukum disuguhkan kembali babak demi babak. Episode ke-2 eksekusi mati terpidana narkoba, mulai menunjukkan ketidak pastian bahkan gelagat penundaan. Penundaan rencana pemindahan Adrew Chan dan Myuran Sukumaran dua terpidana mati bali nine ke nusakambangan. Bersamaan dengan makin kerasnya protes Pemerintah Australia terhadap eksekusi mati. Australia melalui perdana menterinyamenyatakan ketidak sepakatannya terhadap eksekusi mati dengan mengungkapkan bahwa eksekusi mati telah dihapuskan di negeri kanguru tersebut.

Supremasi hukum sarat intimidasi tidak hanya dapat dilihat pada kasus eksekusi terpidana mati narkoba saja. Suguhan epilog ini telah lama di jejalkan kepada hukum di indonesia. Tentu belum hilang dari ingatan saat pemerintah indonesia masih di nahkodai SBY mengabulkan grasi dan memberikan pembebasan kepada corby, warga negara australia yang dipidanakan karna tertangkap membawa narkoba pada akhir 2014 lalu. Kejadian ini juga tidak lepas dari kontroversi. Ekslusivitas yang di terima corby pasca pembebasannya seolah membuktikan bahwa peristiwa tersebut tidak terlepas dari intimidasi dan peran institussi sekaliber negara.

Peristiwa yang terjadi menambah panjang deretan catatan lemahnya hukum yang ditegakkkan atas dasar demokrasi dan liberalisasi. Selama satu dekade reformasi berjalan penegakkan hukum bukannya semakin efektif justru yang terjadi adalah polemik berkepanjangan antara penegak hukum dan posisi hukum itu sendiri yang hanya dijadikan sebagai alat kepentingan dan kereta kencana politik.

Kisruh KPK vs POLRI memproyeksikan kembali modus operandi saling sandera antara penegak hukum untuk melanggengkan kepentingan masing-masing. Menjadikan hukum sebagai alat kepentingan politik oknum dan golongan tertentu. Babak baru pasca pembatalan pelantikan BG sebagai kapolri oleh presiden jokowi. Penyusunan formasi baru pada tataran pimpinan KPK. Untuk sebagian kalangan dipandang masih tetap menyisakan masalah yang kompleks dalam penegakkan hukum di indonesia. Tidak menutup kemungkinan pola yang sama akan berulang saat terjadi ketidak sepahaman dan tidak sejalan dalam hal kepentingan. Hukum akan terus terseret mengikuti kepentingan politik.

Tidak mengherankan kemudian apabila muncul banyak keraguan. Hukum yang semula diarahkan untuk menegakkan keadilan dan diharapkan mewujudkan ketentraman pada rakyat semakin menunjukkan jauh panggang dari api, seperti pungguk merindukan bulan. Sebatas fantasi yang hanya ada dalam angan-angan si pemimpi.

Mudahnya seorang individu dapat melenggang bebas lepas dari jerat hukum. Putusan yang berbeda, tebang pilih dan masih memandang sosok bukan pada pelanggaran. Belum bisa lepas dari hukum yang diterapkan di indonesia. Menjadi habit yang mewarnai proses hukum di indonesia. Kasus centuri yang penyelesaiannya semakin hilang seolah benar menggambarkan hukum tak lebih dari sesosok macan tua ompong dan buta. Lemah dan keropos disana sini.

Pijakan baru dalam penegakan hukum

Kondisi ini tidak ubahnya seperti penyakit kronis yang kian hari kian parah, bahkan menggerogoti dan menginvasi sel-sel sehat disekitarnya. Apabila tidak secepatnya di obati maka dampak akan semakin luas dan semakin buruk. Akhirnya adalah ketidak berdayaan dan bukan tidak mungkin berujung pada kematian hukum dan penegakan keadilan. Tanaman akan tumbuh natural dalam habitat haqiqi dimana seharusnya dia tumbuh. Wadah yang layak menunjang maksimalnya pertumbuhan benih.

Berbijak pada demokrasi, kapitalis dan liberalisme meniscayakan hukum terseret pada kepentingan politik atau kaburnya kedaulatan. Peran dan eksistensi para kapitalis dalam sistem demokrasi sulit diabaikan begitu saja. Wajar jika kemudian kedaulatan hukum diarahkan menurut direct para kapitalis yang bercokol dibelakang para penguasa termasuk para aparat penegak keadilan. Dalam sistem demokrasi siapapun tidak bisa menjadi penguasa dan pejabat kecuali jika mendapat dukungan politik dan modal. Sehingga loyalitas penguasa diberikan kepada penopang yang mendukung secara politik dan modal mutlak adanya.

Selama independensi hukum tidak terwujud akan sulit merealisasikan supremasi hukum yang berkeadilan. Liberalisasi. kapitalisme dan demokrasi tidak memberikan ruang yang luas bagi independensi hukum. Dinamika hukum yang diterapkan berdasarkan ada tidaknya kepentingan. Di bengkokkan berdasarkan design pemilik kekuatan politik dan modal.

Hukum independen dan berdaulat bersinergi langsung dengan indepensi penguasa yang berada ditampuk kekuasaan dan penegak hukum. Selain dari Produk hukum itu sendiri. Subyektifitas dari produk hukum hasil kejeniusan manusia kontra produktif dengan indepensi.

Peletakan acuan pada satu tolak ukur dan standar haqiqi yang baku diperlukan untuk merealisasikan wadah dan dasar berpijaknya hukum yang independen. Disamping sistem yang tidak berpihak pada kepentingan politik dan pemilik modal. Dua hal ini layak di apresiasi dan di aktualisasikan dalam rangka terciptanya wadah baru, tempat berpijaknya hukum. Sistem rasional yang lahir bukan dari kompromi politik dan kepentingan. Menghasilkan indepenensi dan kedaulatan karna menjaga sterilitasnya dari hal-hal yang berbau kepentingan dan pengangkangan dari pemilik modal. Maka sulit untuk mengintimadasi sistem yang dibangun atas dasar ini.

Khilafah terwujud melalui penyerahan kepercayaan umat dan masyarakat yang sepenuhnya pada pengaturan berdasar sistem ini. Tidak berdasar kompromi dan lobi-lobi politik. Kekuasaan umat menopang eksisnya sistem khilafah. Sehingga bukan suatu hal yang tidak beralasan jika menjadikan pijakan baru bagi supremasi hukum yang berkeadilan disematkan pada sistem ini. Khilafah rahmatan lil alamin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline