Lihat ke Halaman Asli

Tuhan Saya Allah

Diperbarui: 5 Januari 2016   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ bu, lagunya salah” ucap Fini, saat aku mengajarkan lagi ‘topi saya’

Aku berjongkok menatap lekat wajahnya, Fini sepertinya akan melanjutkan ucapannya.

“Fini diajarin lagu itu tapi bukan begitu nyanyinya” aku tak faham maksudnya. Teman-temannya yang lain masih terus bernyanyi riang, menyanyikan lagu apa saja yang mereka bisa dan mereka hafal.

Anak ini istimewa, selalu mengejutkan, selalu menghadirkan sesuatu yang berbeda. Kali ini aku menduga seperti biasa dan menunggu ada keistimewaan apalagi pada anak ini.

Pernah suatu kali aku melihat Fini menegur teman perempuannya yang merasa kepanasan dan berkeringat main jungkit-jungkit di halaman sekolah membuka kerudungnya. Fini mengatakan bahwa rambut perempuan adalah aurat.

Memang anak-anak perempuan di sekolah diwajibkan menggunakan kerudung, tapi aku tidak pernah melarang mereka membuka kerudungnya ketika merasa kepanasan ataupun bosan. Toh mereka masih anak-anak, masih berusia dibawah lima tahun.

“Fini nyanyiin ya bu” ucapnya lagi, aku mengangguk

“Tuhan saya Allah, Allaaaah Tuhan saya. Kalauuuu bukan Allah, bukan Tuhan saya”

Fini menyanyikannya  dengan semangat. Seperti menyanyikan lagu ‘topi saya’ hanya mengganti syairnya

aku bertepuk tangan untuknya.

“Fini siapa yang ngajarin?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline