Lihat ke Halaman Asli

my future imam

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14031790971134680545

“laa yukallifullahunafsan illawus’aha dek, kakak yakin kamu bisa”

“insyaAllah kak, watawashoubil haqqi watawashoubisshobri, meskipun jauh jangan pernah lupa untuk terus ingetin adek ya, doakan juga agar selalu sabar”

“innallaha ma’asshobirin. Kamu jangan pernah takut ya, inget laa takhofi wa laa tahzani”

Nisa hanya menunduk dibalik hijab yang memisahkan tempat sholat laki-laki dan perempuan

“malam sudah larut besok harus bangun sahur, kembalilah ke rumahmu ibu pasti menunggu”

“baik kak, maaf malam ini tidak muroja’ah aku terlalu sibuk menumpahkan gundahku, assalamualaikum”

“alaikumsalam”

Malam 16 Ramadhan terasa sangat singkat sesingkat percakapan Ahmad dan Nisa kali itu,tak ada muroja’ah tak ada mengaji ayat- ayat Al-Qur’an juga tak ada kata-kata indah yang mengundang senyum bahagia, malam itu bulan dan bintang dilangit hanya mengatakan bahwa mereka akan terpisah, bukan hanya terpisah dengan hijab berupa kain hijau yang menyekat jama’ah laki-laki dan perempuan tapi mereka akan terpisah pada jarak yang jauh

Nisa teringat 3 tahun yang lalu tepat malam 16 Ramadhan, malam ini selepas tarawih ia tak muroja’ah hanya duduk terdiam merapat ke tembok hijau masjid jamiah afrikiyah membayangkan bahwa itu hijab yang dibaliknya ada suara lembut dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an dan membuatnya tersenyum.

Begitu selama Ramadhan terlebih tanggal 16 Ramadhan malam terakhir Nisa mendengar suara lembut itu, malam ketika Nisa menyatakan keberangkatannya ke Sudan tapi setelah malam itu justru Ahmad yang tak ada kabar menghilang begitu saja. Hanya ada 1 sms dari Ahmad “faiza azamta fatawakkal alallah innallaha yuhibbul mutawakkiliinn” ketika Nisa menelfon no Ahmad sudah tidak aktif.

“Nis, ayo balik ke asrama” ajak kak Habibah membuyarkan lamunannya

Berjalan diatas tanah berpasir menyusuri setapak demi setapak jalan panjang menuju asrama, sambil menghirup udara malam bercampur debu dan pasir inilah parfum alami has Sudan debu dan pasir yang menyusup masuk ke paru-paru meski hidung dan sebagian wajah tertutup cadar tapi debu dan pasir yang lembut tetap terhirup dan menjadi sahabat bagi pernafasan setiap hari.

“gundah apa yang menyelimutimu sebegitu dalam sehingga tak kulihat ada senyum diwajahmu sepanjang hari-hari Ramadhan, tidakkah Ramadhan membuatmu tersenyum? Lihatlah rahmat Allah di Ramadhan ini begitu berlimpah, tidakkah kau tertarik untuk menyicipi manisnya Ramadhan dengan bergembira tersenyum bersama bulan dan bintang di langit?” Nisa terdiam mendengar kata-kata kak Habibah, langkahnya terhenti ditatap wajah kak  Habibah, kakak kelasnya yang sama-sama dari Indonesia

“jangan menatap kakak seperti itu” Habibah tersenyum

Dirangkul Nisa sambil terus berjalan menuju asrama

“Habibahhh intazirni” Habibah menoleh

“bareng dunk tungguin” Awaliyah berlari-lari kecil menyusul langkah Habibah dan Nisa

“dari mana kak?” Tanya Nisa

“hehehe dari PCI, oia Habibah tadi dapet salam dari Habibi, Nisa dapet salam dari Amru”

***

Malam-malam dimusim panas kebiasaan orang Sudan tidur diluar ruangan tak beratap begitupun juga di asrama Abdussofi, sarir-sarir sudah berjejer mengambil posisi di depan kamar, tidur dibawah langit bertabur bintang

“subhanallah” Muthiah bertasbih menikmati pemandangan langit Sudan yang jarang berselimutkan awan, meski panas tapi bintang-bintang selalu tersenyum menemani malam.

“ assyamsu walqomaru bihusbaan wannajmu wassyajaru yasjudaan” Nisa tersenyum

“kak Nisa selalu saja ucapannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an”

“fabiayyi alaa irobbikumaa tukadzibaan” Sochibah datang langsung mengambil posisi ditengah-tengah antara Nisa dan Muthiah

“aku juga ingin seperti kak Nisa yang setiap perkataannya adalah ayat suci Al-Qur’an” ucap Sochibah sambil bergelayut manja

malam yang indah menatap langit bersama kakak adik dan teman-teman seperjuangan dari Indonesia sambil menikmati alunan ayat suci Al-Qur’an yang terdengar samar dari masjid jamiah karna jaraknya memang cukup jauh.

Nisa menatap saudara-saudara setanah air, mereka sudah terlelap bermain bersama mimpi mungkin membayangkan Ramadhan berkumpul bersama keluarga tercinta atau mungkin membayangkan membuat ketupat dan opor ayam has lebaran. Maftuchah dan Tina yang paling kecil diantara mereka pun sudah terlelap, masih ada sisa-sisa air mata diwajah mereka, maklum mereka baru tahun 1sedangkan Muthiah dan Sochibah sudah mulai terbiasa dengan Sudan sejak menginjak tahun 2.

“belum tidur dek?” Nisa hanya tersenyum

“lagi mikir apa c dek? Kok diem terus?”

“mikir Amru ya?” samber Awaliyah setengah meledek

“cie,,cie,, keren ya sekarang dia dah hafal Al-Qur’an, tambah ganteng aja dia hehehe”lanjut Awaliyah

“kamu masih mikir yang di Indo ya dek?” tanya Habibah

“ngapain masih difikir, dia juga sudah tak ada kabar kan? Tadi Mafachir cerita ke kakak, Amru serius suka ke kamu” tambah Awaliyah

“dia menghilang dia menyakitimu lalu kamu masih mengaharapkannya?”

“wa laman shobaro wa ghofaro inna zaalika lamin ‘azmil umuur” jawab Nisa singkat

Habibah dan Awaliyah mengerutkan kening tak faham

“Nisa bukan mengharapkan, Nisa hanya terus berusaha memaafkan. Wal kaadzimiinalghoidzo wal’aafiina ‘aninnas wallahu yuhibbul muhsinin”

***

Nisa menikmati secangkir kopi pahit kesukaannya, dari cangkir kesayangannya yang bermotif polkadot merah Nisa menghirup dalam-dalam aroma kopi yang tak pernah membuatnya sanggup untuk meninggalkan kopi. Sangat sederhana filosopi mengapa Nisa begitu menyukai kopi pahit, itulah rasa alami kopi jangan ditambah apapun begitu juga kehidupan yang aslinya kehidupan memang pahit tapi tetap selalu bisa dinikmati seperti ketika Nisa menikmati secangkir kopi. Lebih nikmat memang jika kopi dicampur susu, gula atau caramel sama seperti hidup yang bisa dinikmati dengan berbagai cara tapi Nisa lebih menikmati kopi pahit karna ketika merasakan pahitnya hidup itu adalah sebuah pelajaran bahwa kita harus bertahan melihat dunia dan memperhatikannya dengan seksama begitu juga ketika menikmati secangkir kopi pahit membuat kita terjaga lebih lama, meski pahit tetap bisa dinikmati maka nikmatilah kehidupan ini meski pahit.

“Alhamdulillah nanti malam tarawih ke17” ucap Awaliyah

“pasti abis ini kak Nisa bilang Inna anzalnaahu fii laylatil qadr hehe” celetuk sochibah

“emangnya nyambung?” Muthiah mengernyitkan dahinya, Nisa hanya tersenyum sambil menghabiskan kopinya

“hayya ‘alassholaah,,ayo ayo udahan sahurnya, segera sikat gigi trus wudhu siap2 ke masjid”ajak Habibah

Bersama sisa angin malam di subuh hari para mahasiswi asal Indonesia itu melangkahkan kakinya diatas tanah berpasir menuju masjid, mereka membiasakan sholat berjamaah terlebih selama Ramadhan semuanya membiasakan jamaah di masjid.

Lepas subuh Nisa masih tenggelam dalam nikmatnya sujud, begitulah satu-satunya cara Nisa melepas penat dan membuang semua beban fikirannya. Sangat menikmati setiap aliran darah yang mengalir ke kepala membuat lebih fresh otak dan fikiran dipagi hari.

Masih menanti waktu duha mereka masih berdiam di masjid khusu’ disetiap pojok masjid dengan Al-Qur’annya masing-masing. Murojaah dipagi hari.

“kak, aku hari ini lemes banget deh” Maftuchah tiba-tiba mendekati Habibah

“sakit dek?” Maftuchah hanya menggeleng

“ga kuat puasa?” Maftuchah masih menggeleng tiba-tiba Tina mendekat
“takut liat natijah” samber Tina

Sebelum Ramadhan internasional university of Africa memang baru selesai melaksanakan imtihan akhir semester

“berdoalah” ucap Awaliyah yang ikut bergabung membuat halakoh

“nyesel deh waktu imtihan ga puasa” celetuk Muthiah

“loh apa kaitannya?” Tanya Sochibah

“Puasa hajat hehehe panas sih jadi ga kuat”

Semuanya berkumpul,Nisa pun ikut mendekat

“tapi kok kuat ya kak Nisa puasa daud?” Muthiah langsung melemparkan pertanyaan ke Nisa
“orang tua kak Nisa selalu berpuasa untuk kemudahan belajar kak Nisa” jawab Nisa

“di pondok dulu sudah dibiasakan berpuasa daud lalu apakah disini hanya karna panas kakak meninggalkannya? Kan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin masa kemarin dah baik sekarang kebaikannya berkurang, bener ga pepatahnya?” sambung Nisa

“Tumben pake pepatah hehehe” celetuk Muthiah

“tapi kan ga boleh maksain diri kak” Sochibah terlihat kurang setuju

“kalian menikmati puasa Ramadhan ini kan? Begitu juga ketika puasa daud kak Nisa sangat menikmatinya tidak memaksakan diri, ketika imtihan kak Nisa tidak puasa sama sekali demi menjaga kesehatan karna akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar dan bergadang menekuni muzakiroh” begitulah selalu Nisa ketika memberi penjelasan tidak hanya selalu dengan ayat-ayat indah Mushaf tapi juga dengan logika.

Sama ketika Nisa memilih Sudan untuk melanjutkan studinya, Nisa memilih Sudan karna panasnya, aneh memang tapi itulah kenyataan dan pilihannya karna bagi Nisa panas adalah sebuah nikmat Allah. Betapa nikmatnya juga bila hidup ditanah hijau subur Indonesia, siapa tak terlena apalagi tak ada panas menyengat juga tidak ada dingin yang menusuk tulang tapi bagi Nisa itu hanya membuat tertidur panjang. Nisa ingin melihat dunia lebih luas membuka mata lebih lebar dan menatap setiap inci bumi dengan seksama. Panas dapat membangkitkan gairah dan semangatnya untuk menuntut ilmu, emosi seseorang yang tinggal di tempat yang panas memang terkadang ikut panas tapi Nisa punya Al-qur’an sebagai penyejuknya.

Lihatlah orang pesisir dan orang pegunungan mana yang lebih banyak jadi ilmuwan, tokoh agama, politikus dan sebagainya, mereka kebanyakan adalah orang pesisir yang terbiasa dengan panas yang menyengat dan membuat mereka terbiasa berusaha dan bekerja keras. Lihatlah A.M Fatwa, B.J Habibie, bung Hatta mereka semua adalah anak pesisir.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline