Lihat ke Halaman Asli

Metamorphosis

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Dear, nih aku bawain buletin”

“Oke, thank you. Topiknya apa nih?”

“The reality of general election”

“Oh wow, sound much political. I don’t think I would like it.”

“Kenapa?”.

“Haha, nggak tahu. Kalo denger politik kebayang got aja, banyak tikusnya. Siapa yang mau deket”.

“Justru itu Dear, kenapa kita harus peduli dengan kondisi. Politik kalau dilihat dengan kacamata sekarang sesuai dengan praktek yang dilakuin sama pemimpin-pemimpin kita, pasti bikin males. Soalnya nggak jauh-jauh sama jabatan, uang, dan perempuan.”

“Sepatu. Sepakat dan setuju”

“Tapi dear, coba liat dan pikirkan. Nggak bisa kita pungkirin kita hidup di Negara ini. Yang otomatis sebuah Negara pastilah punya aturan buat warga negaranya.”

“Yes”.

“Nah siapa yang bikin aturan, ya mereka-mereka yang jadi pemimpin kita, yang bawa-bawa nama kita. Kalau justru orang yang sadar, like u maybe, males sama kondisi ini dan nggak mau ngerubah, bayangkan yang bakalan menguasai kepemimpinan justru orang-orang yang rakus ini kan. Kebayang macam apa aturan-aturan yang mereka buat. Aturan untuk ngurusin orang ratusan juta kepala didasarkan pada kemampuan rasionlitas dan logika otak segelintir orang yang ada di parlemen.”

“Aha. Ketidakpastian, crash, hukum pragmatis?”

“Begitulah. Pertanyaannya apa faktor utama yang bikin kondisi  jadi nggak karuan kayak gini. Kalau mau dirubah, perubahan yang kayak gimana, dan gimana caranya”.

“Good question. What’s the answer?”

“Demokrasi. Islam. Metode rasulullah.”

“Penjelasannya Non”.

“Makanya ngaji hahhaa. I’m gonna be late to the last lecture. Abis Isya oke”.

“Fine”.

***

Ditempat lain, di waktu lain.

“Apaan nih? Oh bulletin. Nggak usah bawa aja”.

“Kenapa nis?”.

“Nggak apa-apa. Males aja bacanya. Itu lagi, itu lagi. Aku uda tahu yang itu”.

“Emang ada yang salah gitu, ini kan isinya Islam, beda kali temanya?”

“Nggak deh. Makasi”.

“Hehe oke. Aku cabut duluan ye”

“Ho’oh”

“Assalamualaikum”

“Kumsalam”

“Ada apan?”

“Temen ku ngasi buletin yang biasanya ituh”

“Oh, mana buletinnya?”

“Nggak ngambil. Males. Aku tuh bingung aja. Kok ada sih orang berani berdakwah baca Al-Quran aja masi terbata-bata. Geli aja. Kan yang disebarin Islam, nah kalau yang nyebar aja nggak ngerti gitu gimana. Secara belajar Islamnya juga baru, dan tahu lah pergaulannya tuh gimana”

“Haha. Iya sih. Tapi ya bagus lah dia berubah. Bisa-bisa ntar dia bisa kayak kamu mba ustadzah atau lebih baik”.

“Biasa aja.”

***

Years later.

“Non, diskusi materi yang ini”.

“Mana dear?”

“Hijrah. Ini uda aku bikinin ppt-nya”.

“Ntar neranginnya gimana?”

“Ya pokoknya intinya, hijrah itu berusaha merubah suatu keburukan menuju kebaikan. Nah standar kebaikan itu apa, Islam. Para sahabat memaknai hijrah dulu ini pindah dari Mekkah ke Madinah dari Darul Kufur menuju Darul Islam artinya dimana dulu itu Islam tidak terterap dengan sempurna dan menuju Madinah yang di sana itu Islam bisa terterap secara menyeluruh. Berarti itu juga yang kita usahakan sekarang. Hijrah menuju Islam yang kaffah”.

“Hijrah itu kayak kamu. Dulu nggak jelas. Sekarang jelas dengan Islam”.

“Haha. Jadi malu kalau diinget-inget. Dulu ngaji aja terbata-bata. Pake kerudung nggak. Main sama temen laki-laki kayak sama temen perempuan. Alhamdulillah banget Allah Nunjukin jalan mulia ini”

“Nah kamu ngerasain sendiri kan gimana hijrah itu. Bawa aja pengalaman kamu ke temen-temen kajian. Trust me It works. Allah itu memang Maha membolak-balikkan hati. Tergantung pada kita sendiri mau mendekat kepada Islam atau nggak. Allah uda ngasi tau tipsnya. Sederhana. Kita punya akal dan hati jangan kita tutup. Kita punya telinga jangan kita sumbat. Kita punya mata tapi jangan tidak melihat. Jangan ragu untuk menerima dan menyampaikan kebenaran. Meskipun terbata-bata tapi berusaha. Bukan menunggu sempurna baru bergerak. Sempurna itu tidak ada pada manusia. Dan tidak mungkin datang tiba-tiba. Tetapi sempurna itu ada sebuah tujuan dengan usaha yang sungguh-sungguh, keikhlasan dan kesabaran”

“Oh Dear”

***

Di tempat lain

“Wuiihhh, Nis, sumpah aku pangling. Kayak Miss Hijabers gitu sekarang”.

“woles Bug”

“Uda gaul nih sekarang. Uda fashionable gitu. Tapi gue suka gaya loe. Sibuk apa sekarang?”

“Nyari Dolar. Ahaha. Tuntutan profesi lah Jeng.  Nggak usah heboh. Norak amat”

“Oke-oke.  Jadi ini mau kemana?”.

“Jalan-jalan aja. Kamu?”.

“Sama. Ayo bareng. Traktir aku makan ya Bu Bos”

“Hokeh”

***

Di waktu yang Sama

“Itulah sekilas pengalaman hijrah saya. Siapapun dia, apapun latar belakangnya dia bisa menjadi seorang yang merubah dirinya menjadi muslimah sejati, menjadi muslimah yang ketaatan tertingginya hanya kepada Allah dan Rasul. Allah juga sudah menyampaikan kepada kita bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka sendiri merubahnya. Kuncinya agar kita benar-benar yakin bisa berhijrah menjadi seorang muslimah sejati adalah membangun keimanan dan ketaqwaan yang 100% kepada Allah SWT. Dan keimanan dan ketaqwaan itu hanya akan terus meningkat ketika kita tidak berhenti belajar, tidak pernah berhenti untuk membangun komitmen ketaqwaan kita, dan tidak pernah berhenti untuk berusaha mengaplikasikannya meskipun melakukan perintah-perintah Allah itu tidak kita sukai. Karena yang kita suka dan menurut kita baik bisa jadi buruk menurut Allah. Jadi standar baik buruk kita cukup perintah dan larangan Allah saja. Satu lagi jangan menunggu sempurna baru berhijrah, justru berhijrah itulah jalan menuju kesempurnaan. Jangan menunggu. Jangan menunggu. Karena ajal pun sudah menunggu kita pula”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline