Ardian Je. Itulah nama yang tepampang di rubrik opini di salah satu koran lokal di Banten. Namanya cukup masyhur di dunia literasi, khususnya di Banten. Esai-esainya sering mampir di koran lokal dan nasional. Bahkan, pernah suatu ketika saya membaca tulisan beliau di koran Pikiran Rakyat saat saya sedang menunggu teman mencuci motor di daerah Cipadung (Bandung).
Saya mengenal beliau ketika bersama-sama menjadi pengajar di salah satu sekolah di Kota Cilegon. Beliau mengajar Bahasa Inggris, saya mengajar sejarah. Kita berdua sama-sama pecinta buku. Ketika membicarakan buku, mata kami berdua menyala-nyala. Terbakar. Kita berdua juga sama-sama suka tamiya, bayblade dan crushgear.
Selain mengajar, di sekolah itu Ardian Je aktif menjadi mentor kelas menulis. Di tangan dinginnya, para siswa anggota kelas menulis berhasil melahirkan beberapa karya buku antologi. Dari kumpulan puisi, sampai kumpulan cerita pendek.
Di tempat tinggalnya di Kp. Kubang Gede, Desa Mangkunegara, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Ardian Je bersama istrinya membangun sebuah rumah baca. Rumah baca itu diberi nama "Rumah Baca Bojonegara". Berbekal ilmu menjadi relawan di Rumah Dunia, ia terus menyalakan api literasi di sudut-sudut kampung.
Berbicara suka atau tidak suka terhadap buku. Mau atau tidak mau. Senang atau tidak senang. Minat atau tidak minat. Perkara yang satu ini memang harus dipaksakan.
Buku harus menjadi benda sakral. Buku harus menjadi jimat, kompas, tongkat, roda, teman dalam kehidupan. Jika kalian tak memiliki (membaca) buku, bersiap-siaplah kalian akan tersesat sepanjang masa.
Meskipun kalimat di atas terdengar lebay, tapi begitulah kira-kira pesan yang saya tangkap dari buku kumpulan esai yang ditulis oleh teman saya yang satu ini.
Terbukti, buah hasil dari kecintaannya terhadap buku dan keuletannya dalam membaca dan merangkai kata, beliau mampu melahirkan karya (esai, puisi, cerpen). Di tahun kemarin, kalau tidak salah beliau menerbitkan kumpulan cerpennya yang berjudul "Lelaki Tua Yang Menyapu Sambil Menangis". Dan tahun-tahun sebelumnya, beliau menerbitkan kumpulan puisinya.
"Buku adalah teman bagi orang-orang yang hebat" (halaman 13). Tokoh-tokoh bangsa seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Haji Agus Salim mereka semua hidup tak jauh dari buku. Para founding father bangsa ini menjadi cerdas karena keterampilannya dalam membaca buku. Karl Marx dan Stalin juga menjadi besar, tidak lain tidak bukan karena mereka rajin membaca buku. Bahkan, Karl Marx menghabiskan hari-harinya dengan membaca buku. (halaman 7).
"Buku adalah bagian dari kemajuan" (halaman 13). Pendapat Ardian Je ini bukan sekedar bualan. Kita lihat peradaban Islam di masa lalu. Peradaban Islam pada zaman Abbasiyah dikenal sebagai puncak kejayaan ilmu pengetahuan (golden age).