Lihat ke Halaman Asli

Ketika Kompas Berani Berhentikan Presiden

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_181837" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Ada banyak alasan mengapa saya (dulu) selalu membaca Kompas (cetak). Dari bahasa yang santun, meski kadang nylekit, ulasan yang dalam, hingga iklannya yang banyak. Benar, jumlah iklan yang banyak adalah salah satu alasan mengapa saya (dulu) berlangganan Kompas (cetak). Beragam iklan, mulai dari pengumuman seminar, produk baru, hingga tawaran diskon adalah bagian Kompas (cetak) yang jarang kami lewatkan. Yang terakhir, tentu saja paling diminati oleh istri saya. Tetapi, itu dulu... Semenjak hampir empat tahun lampau harus meninggalkan tanah air, kebiasaan saya membaca Kompas pun menjadi berubah. Bila dulu bisa membaca Kompas dengan santai saat dalam perjalanan menuju ke atau pulang dari Kampus, atau sembari leyeh-leyeh di rumah di sore hari, sekarang hanya bisa dilakukan dengan memelototi layar computer sambil duduk dengan posisi duduk yang harus tetap sehat. Entah karena posisi saat membaca atau karena layar komputer yang membatasi mata menyapu seluruh halaman surat kabar, saya merasa jauh lebih nyaman membaca Kompas (cetak) dibandingkan Kompas (epaper). Bila dulu bisa nyaman membaca Kompas (cetak) meski lebih dari satu jam, sekarang membaca Kompas (epaper) setengah jam saja sudah terasa melelahkan. Karena merasa tidak nyaman membaca Kompas epaper, saya sekarang lebih sering membaca Kompas.com, meski tetap menengok Kompas Epaper, khususnya edisi Minggu untuk menikmati sentilan-sentilan Panji Koming, Benny & Mice, Timun, Sukribo, dan Konpopilan. Sayangnya, mungkin karena didorong usaha untuk menyajikan berita sehangat mungkin, berbagai kesalahan tak urung acap terjadi pada Kompas edisi online. Lihatlah contoh ketika Kompas.com memberitakan kecelakan Kereta Api Logawa di Kabupaten Madiun, Jawa Timur (lihat gambar). Saya sungguh terperanjat saat membaca tajuk berita yang dipilih Kompas.com. Sebelum membaca isi beritanya, saya sempat berpikir, alangkah hebatnya visi bisnis KNKT, karena begitu ada kecelakaan, langsung berpikir peluang bisnis dengan mengirim investor. Namun, setelah membaca isi berita, baru sadar apa yang dimaksudkan oleh penulis berita ...
Contoh kesalahan kedua yang dilakukan oleh Kompas.com adalah ketika memberitakan gempa yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat hampir dua bulan lampau. Alih-alih melaporkan dari Mataram, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kompas.com malah melaporkan dari Bandar Lampung, ibukota Provinsi Lampung. Entah apa hubungan antara NTB dengan Bandar Lampung. Rasanya, bila yang bergoyang di NTB, tak akan begitu terasa di Bandar Lampung ...
Contoh paling mengagetkan terjadi saat Kompas.com pada 8 Oktober 2009 menuliskan berita tentang perkembangan kasus Antasari Azhar yang dituduh terlibat dalam pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Sesuai dengan aturan yang berlaku saat itu, apabila pimpinan KPK telah beralih status dari tersangka menjadi terdakwa, maka yang bersangkutan akan diberhentikan secara tetap oleh presiden. Tetapi, barangkali khilaf, redaksi Kompas.com membuat judul yang menurut tinjauan tatabahasa malah menyiratkan makna yang sungguh berbeda. Sebuah judul yang pasti tak akan pernah kita jumpai pada edisi cetak.
Selamat ulang tahun ke-45 Kompas, semoga semakin berani menyuarakan amanat hati nurani rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline