Lihat ke Halaman Asli

(Membela) Satpol PP

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_124291" align="alignnone" width="499" caption="apel satpol pp di jakarta, usai kerusuhan koja (kompas.com)"][/caption] Setelah terjadi kerusuhan di Koja, Rabu (14/03/2010), gugatan dan hujatan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) semakin gencar. Beragam lapisan masyarakat menyuarakan gugatan atas kinerja Satpol PP melalui beragam media. Tidak sedikit pula yang menuntut pembubarannya. Di situs jejaring sosial Facebook, misalnya, beberapa grup yang menuntut pembubaran Satpol PP berhasil meraih pengikut hingga ribuan orang. "Kebencian" terhadap Satpol PP tentu saja bukan hanya karena "Kerusuhan Koja". Kerusuhan yang berlangsung hingga dini hari esok harinya serta menelan tiga korban jiwa, ratusan luka-luka, serta miliaran rupiah kerugian material tersebut barangkali menjadi titik kulminasi dari akumulasi perasaan marah (sebagian) masyarakat yang melihat Satpol PP sebagai kelompok yang selama ini sering dianggap sewenang-wenang ketika berhadapan dengan masyarakat marginal, khususnya pedagang golongan ekonomi lemah, sektor informal, serta kaum miskin kota lainnya. Dengan segala catatan semacam itu, layakkah tuntutan pembubaran Satpol PP dipenuhi? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita mulai dengan menelaah alasan pembentukan Satpol PP. Pembentukan Satpol PP adalah amanah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dalam Pasal 148 ayat (1) disebutkan bahwa "untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja." Jadi, Satpol PP mempunyai tugas membantu kepala daerah untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman. Oleh karena itu, di samping menegakkan Perda, Satpol PP juga dituntut untuk menegakkan kebijakan pemerintah daerah lainnya yaitu peraturan kepala daerah. Sedangkan fungsi Satpol PP, menurut PP No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, adalah:

  1. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat;
  2. pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah;
  3. pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di daerah;
  4. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;
  5. pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya;
  6. pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan
  7. pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa fungsi Satpol PP bukanlah seperti pendapat Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nur Cholish yang mengemukakan bahwa Satpol PP seharusnya hanya berfungsi sebagai petugas penjaga kantor Gubernur atau gedung pemerintahan (baca komentarnya di sini). Untuk dapat melaksanakan tugasnya, Satpol PP juga diberi beberapa wewenang, di antaranya adalah:

  1. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;
  2. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
  3. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat;
  4. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan
  5. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

Memang, dalam menggunakan wewenangnya, Satpol PP juga dituntut untuk selalu memenuhi kewajiban yang tampaknya tidak selalu dapat ditunaikan dengan baik di lapangan, yakni:

  1. menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat;
  2. menaati disiplin pegawai negeri sipil dan kode etik Polisi Pamong Praja;
  3. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
  4. melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana; dan
  5. menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah atas ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

Memperhatikan uraian di atas, dapat dipahami peran penting Satpol PP dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. "Kerusuhan Koja" memang membuka mata kita terhadap beberapa implementasi peraturan perundangan yang tidak benar. Ahmad Tajudin, satu di antara tiga anggota Satpol PP yang tewas dalam kerusuhan, misalnya, diberitakan masih berstatus pegawai tidak tetap meskipun telah menjadi anggota Satpol PP di Kantor Walikota Jakarta Barat selama lima tahun, padahal PP No. 6 Tahun 2010 Pasal 16 jelas-jelas menyebutkan bahwa syarat pertama untuk diangkat menjadi Polisi Pamong Praja adalah berstatus pegawai negeri sipil. Akhirnya, kita selayaknya menyadari bahwa Satpol PP hanyalah aparat Pemerintah Daerah yang menjalankan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang telah ditetapkan. Persis seperti polisi, tentara, pegawai pajak, guru, dan lain sebagainya. Kita toh tak menuntut pembubaran polisi atau tentara hanya karena beberapa kali kejadian bentrok dengan pengunjuk rasa, bahkan dalam banyak kejadian meminta korban jiwa. Barangkali ada yang berpendapat Satpol PP layak dibubarkan karena Satpol PP memiliki dosa yang bertumpuk akibat rajin menggusur warung, kios, serta pedagang kaki lima di sepanjang trotoar dan pinggir jalan, pemukiman kumuh di jalur hijau, di pinggir kali dan sebagainya. Namun, patut pula diingat bahwa saat Satpol PP menjalankan tugas-tugasnya yang memang lebih banyak berhadapan dengan masyarakat kecil dan miskin, tidakkah banyak pula kelompok masyarakat tidak kecil serta tidak miskin yang sesungguhnya merasa lega, karena kemudian jalan menjadi lebih lancar, pemandangan menjadi lebih indah dan suasana menjadi lebih tertib dan nyaman?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline