Lihat ke Halaman Asli

Mengenang Insiden 28 Februari

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_81359" align="alignleft" width="300" caption="Monumen 228 di Taipei (foto: koleksi pribadi)"][/caption] Hari ini rakyat Taiwan memperingati "Memorial Day" yang merupakan hari libur nasional. Tepat hari ini, enam puluh tiga tahun lampau, Chiang Kai-Shek, pemimpin tertinggi Kuo Min Tang (KMT), Partai Nasionalis China yang berkuasa di Mainland China dan Taiwan saat itu, mengirimkan tentara KMT untuk memadamkan kerusuhan yang terjadi di Taiwan. Kerusuhan itu dipicu oleh perselisihan seorang inspektur pemerintah dengan seorang perempuan penjaja rokok gelap. Konon, tindakan represif tentara KMT mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 orang. Peristiwa ini sering dikenang sebagai "228 Incident", karena terjadi pada bulan 2 tanggal 28. Dua tahun setelah peristiwa itu, Chiang Kai-Shek harus melarikan diri ke Taiwan (kemudian memerintah Taiwan dengan tangan besi hingga meninggal 1975), karena kalah dalam perang saudara melawan Partai Komunis Cina yang dipimpin Mao Zedong. Mao kemudian mendirikan People's Republic of China (PRC), sedangkan Chiang tetap menggunakan nama Republic of China (ROC) di wilayah Taiwan. [caption id="attachment_81361" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi Insiden 228 (taiwan-info.org.uk)"][/caption] Sementara Mao Zedong mengklaim Taiwan sebagai salah satu provinsinya, sebaliknya Chiang Kai-Shek mengklaim wilayah Republic of China juga mencakup Mainland China. Mimpi suatu saat kelak terjadi unifikasi dengan Mainland China tetap menjadi kebijakan resmi KMT hingga saat ini. Itulah sebabnya, mereka menentang keras setiap kebijakan yang mengarah kepada penguatan identitas Taiwan sebagai sebuah negara, yang terpisah dari Mainland China. Sebaliknya, Democratic Progressive Party (DPP), partai oposisi terkuat saat ini, adalah pihak yang berusaha keras untuk menjadikan Taiwan sebagai sebuah negara yang "normal", terbebas dari mimpi unifikasi dengan Mainland China. Saat memegang tampuk kekuasaan sebelum dikalahkan oleh KMT tahun lalu, misalnya, mereka mengubah nama berbagai BUMN dari semula membawa nama "China" menjadi "Taiwan". Selama delapan tahun mengendalikan pemerintahan, DPP juga berkali-kali melamar menjadi anggota PBB, WHO, dan organisasi Internasional lainnya, meski akhirnya selalu kandas karena dihadang oleh diplomasi PRC yang digdaya. Saat ini, hanya 23 negara saja yang mengakui dan menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan. Ini adalah jumlah terendah setelah diplomasi PRC semakin aktif dan berhasil membujuk beberapa negara yang semula menjalin hubungan dengan Taipei mengalihkan pengakuannya kepada Beijing. Apakah kelak Taiwan akan mampu menjadi sebuah negara "normal", ataukah PRC akan merealisasikan ancamannya untuk menyerbu Taiwan bila Taiwan berani menyatakan merdeka? Hanya waktu yang akan mampu menjawabnya.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline