Lihat ke Halaman Asli

Puasa Ramadhan vs Ekonomi Ramadhan

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi umat muslim sedunia, bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat istimewa dan senantiasa ditunggu-tunggu kedatangannya, karena limpahan pahala serta beragam hikmah yang dijanjikan oleh Tuhan untuk mereka yang menjalankannya dengan bersungguh-sungguh. Namun, selain umat muslim, bulan Ramadhan juga senantiasa ditunggu kehadirannya oleh para pelaku usaha, karena geliat yang menyertainya menjanjikan keuntungan yang luar biasa.

Puasa dan Peningkatan Konsumsi

Setiap mejelang bulan puasa, pemerintah, perbankan, dan para pelaku usaha selalu sibuk melakukan beragam langkah untuk mengantisipasi meningkatnya konsumsi masyarakat. Meskipun pasokan beragam barang telah ditambah, namun karena lonjakan permintaan membuat harga-harga pun biasanya akan langsung terkerek naik.

The Nielsen Company pernah mencatat peningkatan penjualan makanan dan minuman sebesar 24 % di supermarket dan 19 % di minimarket dibandingkan dengan rata-rata di bulan biasa. Data sebelumnya juga mencatat penjualan daging meningkat tiga kali lipat sepanjang bulan puasa dan lebaran.

Peningkatan konsumsi masyarakat juga tercermin dari meningkatnya kebutuhan dana selama bulan Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri. Mengantisipasi lonjakan kebutuhan dana menjelang lebaran tahun ini, misalnya, bank terbesar di tanah air, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, menyiapkan uang tunai Rp 33,97 triliun.

Jumlah dana ini mengalami kenaikan 22,2% dibanding tahun lalu. Sebesar 40% dari jumlah dana itu akan didistribusikan di wilayah Jabodetabek. Adapun 60% lainnya akan disalurkan ke kota-kota besar di Indonesia di luar Jabodetabek seperti, Medan, Semarang, Surabaya dan Bandung. Sementara untuk ATM, dana yang disiapkan Bank Mandiri antara Rp 1,7 triliun sampai Rp 1,9 triliun per hari, atau meningkat 25 persen dibandingkan hari-hari biasa.

Sementara itu, fenomena serupa juga terjadi pada bank terbesar kedua, BRI, yang mengalokasikan dana tunai hingga mencapai Rp25,5 triliun untuk memenuhi kebutuhan lebaran tahun ini, meningkat sebesar Rp 1,698 triliun atau sekitar 7% dibandingkan tahun lampau.

Bank Indonesia (BI) memprediksi kebutuhan uang tunai untuk kebutuhan bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri pada tahun 2014 ini mencapai Rp 118,5 triliun. Angka kebutuhan ini meningkat 14,9 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp 103,2 triliun.Siklus tahunan selama periode Ramadhan atau Idul Fitri ini umumnya terjadi selaras dengan peningkatan transaksi di masyarakat.

Peluang meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat juga ditangkap oleh PTPegadaian yang menargetkan kenaikan omset sekitar 10-20 % sepanjang bulan Ramadhan hingga Lebaran. Bedanya, kredit yang disalurkan oleh PT Pegadaian biasanya digunakan sebagai modal untuk usaha musiman seperti jualan baju, takjil, kue dan makanan. Usai lebaran, barang yang digadaikan biasanya akan ditebus kembali.

Di PT Pegadaian Cabang Tulungagung, misalnya, omzet meningkat 15 persen menjelang Ramadhan, dari bulan Mei 2014 yang hanya Rp 13 miliar menjadi sekira Rp 15 miliar menjelang Ramadhan tahun ini.

Puasa Ramadhan Juga Puasa Belanja

Meningkatnya konsumsi masyarakat selama bulan Ramadhan, padahal aktivitas makan dan minum hanya berlangsung di malam hari sesungguhnya patut dipertanyakan. Waktu yang lebih singkat untuk makan dan minum di malam hari, seolah-olah dimanfaatkan untuk 'balas dendam', mengkompensasi saat-saat lapar dan dahaga di siang hari.

Padahal, salah satu esensi penting dari pelaksanaan Ibadah puasa Ramadhan adalah justru peningkatan kemampuan pengendalian diri. Keberhasilan mengendalikan diri selama berpuasa seharusnyalah tercerminkan oleh konsumsi masyarakat yang melemah atau setidaknya stabil. Konsumsi masyarakat yang meningkat, dengan demikian bisa menjadi indikasi ketidakberhasilan pengendalian diri selama berpuasa.

Menjelang bulan Ramadhan berakhir, masyarakat juga mulai disibukkan dengan persiapan Idul Fitri. Pusat-pusat perbelanjaan modern maupun pasar tradisional penuh sesak oleh masyarakat yang berbelanja kebutuhan lebaran seperti ketupat, makanan dan kue lebaran, baju, sepatu, dan sejenisnya.

Biasanya, para pengunjung memenuhi pusat-pusat perbelanjaan dari sore hari hingga saat jam tutup. Bahkan, banyak mall yang sampai menunda jam tutupnya. Padahal, umat muslim sesungguhnya justru didorong untuk lebih meningkatkan kualitas ketakwaan dengan cara mengaji atau menjalankan shalat tarawih di waktu-waktu tersebut.

Mengembalikan Makna Hakiki Berpuasa

Kesibukan berbelanja, makan besar, dan pameran baju baru saat lebaran, selain tampak seperti perayaan kebebasan setelah sebulan terkekang (yang tentu sangat jauh dari makna puasa yang benar), juga terasa kurang sejalan dengan hikmah puasa agar kita menjadi lebih mampu berempati kepada golongan masyarakat yang tidak beruntung, misalnya mereka yang tak punya cukup uang untuk makan layak, apatah lagi untuk membeli pakaian yang pantas. Belum lagi bila kita deretkan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya seperti tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan yang masih merupakan barang mewah bagi sebagian cukup besar golongan masyarakat negeri kita.

Oleh karena itu, semua pihak perlu bersinergi untuk mengembalikan makna hakiki berpuasa sebagai latihan untuk memperkuat pengendalian diri. Melalui beragam sosialisasi dan edukasi yang tepat, Bank Indonesia pun dapat berpartisipasi mencerahkan masyarakat sehingga puasa Ramadhan tak lagi dimaknai masa-masa berbelanja guna memuaskan diri yang ujung-ujungnya akan mengerek inflasi dan bahkan menjauhi Ilahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline