Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Mutasim Billah

Saya adalah salah satu mahasiswa yang aktif di beberapa organisasi kepemudaan di jawa tengah dan ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama

Merawat Budaya, Slametan Baritan Harus Lestari di Tengah Modernisasi

Diperbarui: 11 Agustus 2024   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Slametan Baritan

Dalam rangka menyambut bulan Muharram 1446 Hijriah, Masyarakat Desa Kedungmalang, Kec. Wonotunggal, Kab. Batang, mengadakan kegiatan Baritan pada, Kamis (11/07). Baritan dilaksanakan setelah ashar di beberapa titik di Desa Kedungmalang, salah satunya di Rukun Tetangga (RT) 14.

Baritan sendiri merupakan suatu tradisi, euforia yang dilakukan secara turun-temurun untuk menyambut datangnya bulan Muharram atau dalam istilah Jawa disebut bulan Suro.

Dikutip dari beberapa sumber, Slametan Baritan disebut juga upacara adat yang dilakukan setiap bulan Suro. Baritan berasal dari kata rid/wiriddan yang berarti memohon petunjuk atau perlindungan dan keselamatan kepada Allah SWT. Namun akibat pengaruh kebudayaan setempat kata rid/wiridan berubah menjadi Baritan. Baritan ini dapat diartikan juga menjadi tolak bala.

Slametan Baritan dilakukan melalui beberapa syarat diantaranya harus diadakan di perempatan jalan desa karena barada di tengah-tengah sehingga memudahkan masyarakat berkumpul. Seperti yang dilakukan oleh Masyarakat RT 14, Desa Kedungmalang menggelar slametan Baritan di jalan pertigaan Desa.

Hadir pula Kepala Desa Kedungmalang dan sesepuh masyarakat Kedungmalang sebagai pembuka jalanya acara, beliau menuturkan jika sudah selayaknya tradisi Baritan tetap harus dilestarikan, karena melalui Baritan bisa semakin dekat untuk menjalin silaturahmi antar masyarakat.

"Semoga menuju 1 Muharram 1446 Hijriah ini kita masih diberi kesempatan untuk menghirup udara bebas serta tetap teguh dalam keimanan dan menjadi insan yang lebih baik lagi dari segala sisi," tandas H. Mulyono

Kemudian acara dilanjutkan dengan pembacaan Do'a yang dipimpin oleh Kyai setempat serta diakhiri dengan makan-makan bersama sebagai wujud menjalin keakraban antar masyarakat setempat.

Makanan yang disediakan pun harus bubur atau nasi kuning yang sudah dihaluskan kemudian atasnya ditaburi ayam suwiran dengan rasa yang dihasilkan lebih sedap dan gurih. Kegiatan ini diharapkan menjadi ajang silaturahmi dan selalu mengingat Allah SWT sebagai penolong dalam segala hal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline