Di tengah percepatan upaya pembangunan SDM dalam negeri yang masih rendah dengan angka lulusan perguruan tinggi yang terlampau jauh tertinggal dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, Kemdikbud melalui Tjitjik Tjahjandarie selaku Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi-nya justru mengeluarkan statemen kontroversi bahwa pendidikan di tingkat perguruan tinggi sifatnya hanya tersier.
Artinya semua lulusan SLTA tidak harus melanjutkan ke perguruan tinggi yang bukan hanya tidak memberikan solusi dari permasalah semakin mahalnya biaya untuk kuliah namun juga menunjukan ketidakseriusan serta abaynya lembaga paling bertanggung jawab terhadap pendidikan di Indonesia ini.
Pernyataan bahwa pendidikan di tingkat perguruan tinggi sebagai pendidikan tersier merupakan blunder fatal karena menempatkan akses ke pendidikan tinggi ditempatkan pada urutan terakhir dalam skala prioritas kebutuhan. Akan lebih dapat diterima jika pernyataan dari Tjitjik Tjahjandarie menempatkannya pada posisi sekunder yang pemenuhannya dilakukan setelah kebutuhan makan-minum, sandang serta papan terpenuhi.
Sedangkan terdapat korelasi yang jelas antara SDM berkualitas dengan jumlah lulusan perguruan tinggi dalam suatu negara dan Indonesia angkanya masih jauh dibawah rata-rata dunia dengan urutan ke 6 untuk skala Asean berdasarkan data UNESCO tahun 2011-2020 bahkan kita masih dibawah Filipina (Kumparan.com).
Dengan berbagai langkah dan kebijakan dari Kemdikbud sebelum-sebelumnya yang menuai kontroversi kemudian tidak lupa disusul juga dengan klarifikasi lembaga ini, seharusnya menjadi pembelajaran dan bahan evaluasi untuk lebih cermat dan lebih hati-hati lagi ke depannya dalam membuat pernyataan menyikapi permasalahan yang ada.
Namun dengan pernyataan jajarannya di atas terkait prioritas pendidikan di perguruan tinggi menunjukan kementerian ini kurang dalam membenahi diri, pernyatannya yang demikian tentu saja sangat mereduksi semua bentuk keseriusan dari pemerintah selama ini untuk memberikan akses yang lebih luas bagi masyarakat tidak mampu untuk mengenyam pendidikian di perguruan tinggi dan semakin menguatkan anggapan kebijakan-kebijakan dari kementerian ini dilaksanakan secara serampangan dan tanpa koordinasi dengan para ahli.
Besaran anggaran minimal 20 persen dari APBN yang dialokasikan untuk pendidikan bukanlah nilai yang sedikit, tercatat pada tahun 2024 APBN Indonesia sebesar 3.325,1 Triliun artinya sejumlah 665 triliun menjadi jatah bagi sektor pendidikan namun sejauh ini dengan anggaran sebesar itu realisasinya masih jauh dari ekspektasi yang diharapkan, misalnya permasalah UKT yang menjadi jauh lebih mahal dari sebelumnya.
Kenaikan UKT di berbagai perguruan tinggi ini didasarkan pada aturan yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024, regulasi ini seolah menunjukan ketidakhadiran pemerintah dalam memastikan kemudahan akses pendidikan di perguruan tinggi seluas-luasnya karena pada gilirannya menjadi pintu bagi pihak perguruan tinggi untuk bertindak secara sewenang-wenang dalam menentukan besarakan UKT dan menimbulkan kesan bahwa pendidikan di perguruan tinggi sarat dengan komersialisasi.
Aroma Komersialisasi pendidikan di tingkat perguruan tinggi menguat dan menjadi pembahasan panas serta menarik menyusul lahirnya kebijakan kenaikan UKT dari berbagai kampus di tanah air yang mengancam akan menyebabkan banyak mahasiswa putus kuliah dan lebih banyak lagi lulusan SLTA yang tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.