“Karya Sastra tidak butuh Pembaca. Pembacalah yang membutuhkannya” -Keset
Bab Pembuka: Basa-basi
Saya kerap menemukan sastrawan daring, wabil khusus kaum Fiksiana di Kompasiana mengeluhkan tentang betapa susahnya mereka dalam menarik orang-orang agar mau membaca karya mereka.
Umumnya, mereka merasa tertindas oleh kepopuleran karya tulis lain. Ada yang merasa terdamprat oleh artikel politik, ada yang merasa tergencet oleh artikel saru, ada pula yang merasa diperlakukan tidak adil oleh moderator Kompasiana.
Wajar. Saya yang bukan seorang penulis karya sastra pun pernah mengalami perasaan itu. Seingat saya, dulu ketika baru berusia satu bulan di dunia ini, saya pernah curhat ke Ibu Suprihati dan Romo Bobby.
Kira-kira begini curhatku kala itu, “Pak, artikel Kereatif yang kubikin dengan susah sampai kepalaku rontok dan jempolku kapalan, kok yang baca masih kalah jauh sama artikel kutipan berita kadal dengan analisa yang sangat minim? Aku iri, Pak!”
Lalu keduanya memberikanku nasihat yang menyejukkan. Sayangnya, saya lupa bagaimana kalimat nasihat itu. Tapi yang jelas, ruh wejangan mereka itulah yang membuatku tetap menulis (di sini) hingga saat ini.
Begitupun kamu, wahai kaum Fiksiana teruskan berkarya sastra walaupun tidak ada yang baca. Selembar Keset di depan pintu kamarku pernah berkata,
Tidak ada yang benar-benar peduli kepadamu, kecuali dirimu sendiri. Berhentilah mengeluhkan hidupmu ke orang lain. Seburuk apapun hasil usahamu, terimalah dengan bahagia
Belakangan waktu ini, saya iseng untuk menyemplungkan diri ke dunia Fiksiana Kompasiana. Awalnya, saya belajar menikmati karya para pujangga dan cerpener di sini. Saya suka.
Lalu, keisengan saya berlanjut dengan mencoba menulis beberapa puisi, sampai cerpen. Wah, ternyata beberapa tulisanku mendapat label pilihan. Dan sepertinya saya mulai ketagihan membaca dan belajar membuat karya sastra.
Dari perjalanan diiringi dengan pengamatan, saya menyimpulkan apa yang dikatakan oleh Romo Bobby bahwa Kompasiana merupakan Rumah yang ramah bagi karya sastra adalah benar.